Kreativitas atau Kontradiksi? Kritik atas Usulan Produk ‘KW’ untuk UMKM dan Pelajaran Tata Kelola Kebijakan -->

Header Menu

Kreativitas atau Kontradiksi? Kritik atas Usulan Produk ‘KW’ untuk UMKM dan Pelajaran Tata Kelola Kebijakan

Jurnalkitaplus
23/10/25


JURNALKITAPLUS - Pada 22 Oktober 2025, Maman Abdurrahman selaku Menteri Usaha Mikro, Kecil & Menengah (UMKM) meminta maaf karena sejumlah pernyataannya terkait barang tiruan atau “KW” yang ditafsirkan sebagai mendukung produk bajakan. 


Ia menyebut bahwa analogi yang ia gunakan—seperti “Louis Vuttong” atau “Doir” untuk merek Louis Vuitton dan Dior—dimaksudkan sebagai guyonan kreatif agar pelaku UMKM inovatif dalam penamaan produk. 


Ia menegaskan bahwa bukan maksudnya mendorong pelanggaran hak kekayaan intelektual (HAKI) dan produk tiruan secara ilegal, melainkan mendorong proses “amati, tiru, modifikasi” yang dilakukan negara lain dalam proses industrialisasi. 


Respon publik muncul segera. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik usulan Menteri UMKM yang menganjurkan pembuatan barang “KW” atau produk tiruan, karena bisa dianggap mendukung praktek ilegal dan melemahkan perlindungan konsumen serta inovasi lokal. 


Selain itu, dari kalangan industri kerajinan dan asosiasi seperti Asosiasi Kreatif dan UMKM Indonesia (AKUMINDO) muncul penolakan terhadap usulan produksi barang tiruan sebagai solusi menghadapi produk impor. Mereka menilai usulan tersebut keliru dan bukan solusi yang sehat. 


Menteri UMKM kemudian melakukan klarifikasi bahwa yang dimaksud adalah “plesetan lucu” daripada barang palsu: inovasi kreatif nama dan desain, bukan menjiplak secara ilegal. Ia menyebut banyak produk lokal yang sudah bagus, dan mendorong agar UMKM mampu bersaing, punya cakupan kelas menengah ke bawah, serta memperkuat akses pasar, pelatihan branding, dan kualitas produk. 


Perspektif : Antara Gagasan dan Tanggungjawab 


Pernyataan Menteri UMKM ini membuka diskusi penting mengenai bagaimana seharusnya pemerintah mendorong pelaku UMKM dalam menghadapi tekanan barang impor dan persaingan global. Ada beberapa catatan kritis yang layak digaris­bawahi:


Konteks yang sensitif: Saat UMKM dihadapkan pada gelombang barang impor murah dan persaingan yang ketat, menteri memang memiliki tanggung-jawab moral untuk menunjukkan jalan. Namun saran menggunakan analogi “KW” atau produk tiruan dengan nama plesetan menjadi sangat riskan karena bisa ditafsir sebagai legitimasi pelanggaran HAKI atau etika bisnis. Istilah “KW” di masyarakat sudah konotasi negatif — barang imitasi atau bajakan — sehingga komunikasi publik harus sangat hati-hati.


Inovasi versus tiruan: Pada intinya, meniru model sukses internasional (“amati, tiru, modifikasi”) memang sah sebagai strategi pembelajaran. Contoh yang disebut seperti negara Korea Selatan dalam fase awal industrialisasi. Namun garis pemisah antara “belajar” dan “menjiplak” harus jelas. Bila disampaikan kurang cermat, bisa menimbulkan persepsi bahwa pemerintah mendukung kegiatan yang melanggar hak cipta/merek — hal yang kontraproduktif terhadap iklim inovasi dan brand lokal yang jauh lebih sustainable jangka panjang.


Respons stakeholder dan perlindungan konsumen: Kritik dari YLKI dan asosiasi industri mencerminkan bahwa saran dari pejabat publik harus mempertimbangkan seluruh ekosistem — bukan sekadar pelaku UMKM, tapi juga konsumen, brand asli, dan regulasi HAKI. Bila produk tiruan diizinkan atau dibiarkan dilegitimasi, maka dampak bagi citra Indonesia sebagai produsen kreatif, serta perlindungan konsumen bisa melemah.


Komunikasi publik sebagai bagian dari tata kelola: Kesalahan komunikasi yang dilakukan Menteri UMKM — meskipun niatnya mungkin baik — menjadi contoh bahwa pejabat publik harus menjaga ketajaman diksi dan konteks. Ia menyadari hal tersebut, dengan mengakui “keliru menggunakan analogi” dan meminta maaf. Ini penting karena kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah juga dipengaruhi oleh kualitas penyampaian dan kejelasan pesan.


Fokus pada penguatan UMKM yang orisinal dan kompetitif: Klarifikasi yang dilakukan menunjukkan bahwa kementerian tetap menekankan produk lokal orisinal, akses pasar, pelatihan branding, dan kualitas produk sebagai prioritas. Ini sejajar dengan arah pengembangan UMKM yang berkelanjutan: bukan hanya produksi massal tiruan, tapi merek Indonesia yang punya daya tarik sendiri.


Hikmah yang Dapat Dipetik


1. Kejelasan komunikasi sangat krusial — Pejabat publik harus memikirkan dampak bagaimana pernyataan mereka diterima di masyarakat, terutama dalam era media sosial yang cepat menyebar dan mudah disalah­artikan.


2. Strategi jangka panjang lebih penting daripada solusi cepat — Menghadapi barang impor atau tekanan pasar bukan dengan meniru secara langsung, melainkan dengan membangun produk lokal yang kuat, inovatif, punya identitas dan branding sendiri.


3. Hukum dan etika harus tetap menjadi landasan — Dukungan terhadap UMKM tidak bisa mengabaikan perlindungan hak kekayaan intelektual dan kewajiban terhadap konsumen. Regulasi dan dukungan layanan harus menyertai.


4. Kesalahan adalah pelajaran — Permintaan maaf dan klarifikasi memperlihatkan bahwa pemerintah juga harus siap menerima kritik, introspeksi, dan memperbaiki diri agar kebijakan lebih tepat sasaran.


5. Sinergi stakeholder diperlukan — Peran pelaku UMKM, asosiasi industri, konsumen, regulator, dan pemerintah harus berjalan bersama. Saran kebijakan apa pun harus dikomunikasikan dan dikonsultasikan agar dampak negatif bisa diminimalkan.


(FG12)