Skema Utang APBN Tambah Beban untuk Daerah, Ekonom: Otonomi Fiskal Terancam! -->

Header Menu

Skema Utang APBN Tambah Beban untuk Daerah, Ekonom: Otonomi Fiskal Terancam!

Jurnalkitaplus
30/10/25


Jurnalkitaplus – Kebijakan pemerintah pusat yang menawarkan skema pinjaman dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada Pemerintah Daerah (Pemda) pasca-pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) pada APBN 2026 menuai kritik tajam. Meskipun bertujuan menutup celah fiskal daerah, skema yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 ini dinilai dapat menambah beban utang dan berujung pada hilangnya otonomi fiskal daerah.


Ancaman Nyata Pemangkasan Dana Transfer


Konsekuensi paling memberatkan bagi Pemda yang menunggak pinjaman adalah adanya sanksi berupa pemotongan jatah Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Bagi Hasil (DBH). Mekanisme ini berfungsi sebagai jaminan pelunasan utang.


Pandangan yang disoroti mengenai kebijakan itu menyatakan bahwa bagi daerah dengan kemampuan fiskal rendah, skema pinjaman baru dari pusat bukanlah solusi. Lebih lanjut, mereka dinilai rentan terjebak utang yang memberatkan dan akan kehilangan Dana Bagi Hasil (DBH) serta Dana Alokasi Umum (DAU) yang dipangkas sebagai bagian dari mekanisme pelunasan.


Jika DAU dan DBH dipangkas, kewenangan daerah untuk menentukan prioritas belanja publik (seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur) akan semakin tergerus karena dana tersebut harus dialokasikan untuk melunasi utang.


Otonomi Fiskal Terkikis, Resentralisasi Menguat


Pengamat ekonomi menilai kebijakan pinjaman ini sebagai upaya sentralisasi kekuasaan fiskal. Otonomi fiskal adalah hak daerah untuk mandiri dalam mengelola pendapatan dan pengeluarannya. Namun, skema utang ini justru mengikis kemandirian tersebut.


Ketergantungan Utang: Pinjaman yang ditawarkan sebagai pengganti TKD memaksa daerah mengubah dana yang seharusnya bersifat hak (transfer) menjadi kewajiban utang. Hal ini membuat daerah cenderung memilih jalur utang yang cepat daripada berusaha keras meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih berkelanjutan.


Kendali Belanja Pusat: Adanya ancaman pemotongan DAU/DBH membuat Pemda secara tidak langsung harus memprioritaskan pembayaran utang kepada pusat, yang pada akhirnya mengurangi kebebasan daerah dalam mengalokasikan dananya sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.


Dengan demikian, pemerintah pusat memiliki kontrol yang lebih besar atas kebijakan fiskal daerah, mengubah hubungan pusat-daerah dari mitra otonom menjadi hubungan kreditur-debitur.


Keuntungan Strategis Bagi Pemerintah Pusat


Di sisi lain, kebijakan ini memberikan keuntungan signifikan bagi Pemerintah Pusat (Negara) dalam pengelolaan APBN:


Pengendalian Defisit Fiskal: Dengan memangkas TKD dan menggantinya dengan pinjaman, Pemerintah Pusat dapat menekan pengeluaran Belanja Negara dan menggeser beban ke pos piutang, membantu menjaga batas defisit APBN tetap terkontrol.


Penyelarasan Pembangunan: Pinjaman disalurkan untuk membiayai proyek yang sejalan dengan kebijakan strategis Pemerintah Pusat. Hal ini memastikan dana APBN yang keluar diarahkan untuk mencapai prioritas nasional, sekaligus meningkatkan pengawasan atas proyek daerah.


Jaminan Pengembalian: Mekanisme pemotongan DAU/DBH menjadi jaminan yang kuat bagi kas negara, meminimalkan risiko kredit dan menegakkan disiplin fiskal agar daerah lebih berhati-hati dalam berutang.


Meski demikian, para kepala daerah diprediksi akan tetap melirik opsi pinjaman ini di tahun 2026 untuk memastikan roda pemerintahan dan pembangunan tetap berjalan di tengah pemangkasan dana transfer. Daerah pun didorong untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengambil pinjaman agar tidak menciptakan beban keuangan jangka panjangyang memberatkan. (FG12)