Bedah Film : Sisi Positif Drama Twinkling Watermelon -->

Header Menu

Bedah Film : Sisi Positif Drama Twinkling Watermelon

Jurnalkitaplus
07/11/25

Assalamu'alaikum Sobat Jkpers!

Kembali lagi di bedah film, dari film yang belum atau sudah kamu tonton, namun, belum menemukan apa yang bisa dipelajari dan bekal untuk kita menghadapi kehidupan ini. Ya! Perihal materi kehidupan belum tentu kamu temukan di pelajaran sekolah bahkan kuliah. Tapi, tenang saja! Kini kami hadir untuk meringkas sebuah drama 'Twinkling Watermelon'

Jika kamu ada kesempatan kembali ke masa muda orangtuamu, mau atau tidak? kita cenderung menginginkan orangtua sempurna bukan sempurna deh, tapi sama seperti orangtua teman-teman yang lain—lupa bersyukur, deh!

Drama ini sangat menyentuh banyak penonton, mungkin kamu masih ragu dari sisi positif pelajaran drama ini bisa jadi pacuan atau kamu tidak punya banyak waktu untuk menonton dramanya?

Lantas apa saja sih pelajarannya?

1.       Kita sering melihat kekurangan orangtua, bukan perjalanan hidup mereka : cuplikan Eun-gyeol yang melihat ayahnya di masa lalu, kita dipaksa menyadari satu hal sederhana yang anehnya jelas menyakitkan : kita tidak tahu proses yang membuat orangtua seperti sekarang. Alih-alih menghakimi—"kok mereka seperti ini sih?"—drama ini malah membuat kita bertanya, "apa yang mereka korbankan, apa sih yang mereka impikan dan di mana luka mereka bermula?" itu membuat rasa malu, rasa kesal, atau keinginan agar orangtua 'berubah sesuai standar kita' terasa kecil dibanding kisah hidup mereka.

2.       Dengan menerima bukan berarti membiarkan diri terluka, melainkan memberi ruang untuk empati. Di mana Eun-gyeol sempat merasa jadi beban (interpreter keluarga) dan malu terhadap teman. Tapi ketika ia melihat bahwa ayahnya dulu punya hidup penuh warna, pilihan dan mimpi, dia mulai memaklumi mengapa ayahnya berubah. Jadi, dengan menerima kekurangan orangtua bukan sama dengan pasrah tanpa batas. Justru ini panggilan untuk kita bisa lebih empati dan mencoba berdiri di posisi mereka dengan posisi kita tahu riwayat mereka, lalu bersama-sama mencari menjaga batas sehat agar hubungan tetap hangat tanpa mengorbankan diri sendiri.

3.       Peran anak (child of deaf adults) yang sering tertutup oleh ekspektasi jadi beri ruanglah untuk bisa bermimpi. Di drama ini realitas tersebut anak yang bertindak sebagai suara keluarga sering didorong jadi 'aman' agar keluarga bisa tetap bertahan. Tetapi manusia butuh identitas dan ruang untuk bisa mengejar minat. Jadi jika sometimes kamu berada posisi Eun-gyeol, bicaralah dengan jujur, cari kompromi, dan bila perlu minta dukungan dari orang luar seperti guru, teman supaya impianmu tidak padam.

4.       Kebaikan kecil di masa sekarang bisa mengubah masa depan emosional keluarga, ada momen Eun-gyeol mencoba mengubah nasib ayahnya dari masa lalu—metafor kuat bahwa tindakan kecil hari ini seperti memilih memahami, memberi waktu, berbicara tanpa menyalahkan sebenarnya bisa mengubah kualitas hubungan ke depan. Bukan soal 'memperbaiki masa lalu' secara harfiah, tapi memperbaiki cara kita berinteraksi sekarang sehingga 'warisan' emosional yang kita turunkan ke generasi berikutnya bisa lebih sehat.

5.       Kamu tahu kan menjadi orangtua itu proses, belajar gagal, bangkit, dan terus belajar. Ada dialog di drama menekankan bahwa menjadi orangtua bukan profesi yang dilatih sekali, itu adalah rangkaian coba-gagal yang tak berujung. Dari sini kita diingatkan untuk bersyukur sekaligus bersabar—kepada diri sendiri sebagai anak maupun terhadap orangtua yang sedang berjuang.

Jadi, jangan lagi menetapkan kita mau orangtua seperti apa, ya? Nantinya kita sebagai orangtua akan merasakan hal yang sama dirasakan orangtua kita terhadap diri kita saat ini atau bahkan yang sudah lewat.

FAI-32