Benarkah Makan 3x Sehari Itu 'Jebakan'? Menguak Rahasia Puasa & Tren Penyakit Modern -->

Header Menu

Benarkah Makan 3x Sehari Itu 'Jebakan'? Menguak Rahasia Puasa & Tren Penyakit Modern

Jurnalkitaplus
13/11/25



Halo, para JKPers!

Pernah ngerasa nggak, sih, makin ke sini, kita makin sering dengar penyakit aneh-aneh? Diabetes Tipe 2 sekarang menyerang usia muda, obesitas jadi 'pandemi' baru, belum lagi penyakit autoimun dan GERD yang kayaknya jadi langganan.

Kita selalu disalahkan pada "makanan" (junk food, gula berlebih), tapi jarang ada yang menantang "frekuensi" makannya.

Dari kecil, kita didoktrin: "Makan itu harus tiga kali sehari! Sarapan, makan siang, makan malam." Kalau skip sarapan, dianggap bakal kena masalah. Tapi, benarkah 'aturan' ini sehat? Atau jangan-jangan, inilah salah satu biang kerok masalah kesehatan modern?
Hari ini, kita akan bedah topik yang agak 'panas' ini.

Mitos Makan 3x Sehari: Aturan dari Mana?

Kalau kita jujur, JKPers, aturan makan 3x sehari itu bukanlah aturan biologis tubuh manusia. Itu lebih merupakan konstruksi sosial dan budaya.

Coba kita telusuri sejarahnya. Banyak sejarawan setuju bahwa pola makan 3x sehari yang kaku ini baru populer di era Revolusi Industri (abad 18-19). Kenapa? Karena buruh pabrik butuh jadwal kerja yang terstruktur. Mereka diberi jam istirahat pasti untuk "isi bensin" (makan siang) agar bisa lanjut kerja.

Di Indonesia sendiri, tradisi sarapan (terutama nasi) juga tidak sekuno yang kita bayangkan, banyak dipengaruhi oleh budaya agraris dan era kolonial.

Lalu, bagaimana "orang zaman dulu"?

Meskipun klaim "orang zaman dulu hanya makan 1 kali" mungkin terlalu menyederhanakan (karena beda budaya, beda kebiasaan), faktanya mereka tidak makan sesering kita. Mereka makan saat ada makanan, atau saat benar-benar lapar. Mereka tidak punya kulkas untuk ngemil tengah malam atau delivery order 24 jam.

Perutmu adalah Pabrik, Bukan Tempat Sampah

Coba bayangkan perut dan sistem pencernaan kita seperti sebuah pabrik pengolahan makanan yang canggih. Setiap kali makanan masuk (terutama karbohidrat dan gula), pabrik ini akan memanggil 'manajer'-nya, yaitu hormon insulin. Tugas insulin adalah mengambil gula dari darah dan menyimpannya ke dalam sel untuk energi.

Masalahnya muncul di sini:

 Pukul 07.00: Sarapan (Insulin naik)
 Pukul 10.00: Ngemil (Insulin naik lagi)
 Pukul 12.00: Makan siang (Insulin naik tinggi)
 Pukul 16.00: Ngopi + Pisang goreng (Insulin naik lagi)
 Pukul 19.00: Makan malam (Insulin naik)
 Pukul 21.00: Ngemil nonton TV (Insulin naik)

Pabrik ini tidak pernah dapat jatah libur. Insulin kita terus-menerus 'diteriaki' untuk bekerja. Apa yang terjadi jika manajer disuruh kerja 24/7 tanpa henti? Dia bakal kelelahan, dan para pekerjanya (sel tubuh) jadi 'budek' alias tidak lagi merespons perintahnya.

Inilah yang secara medis disebut Resistensi Insulin

Gula yang tidak bisa masuk ke sel akhirnya menumpuk di darah (jadi diabetes) dan diubah oleh hati menjadi lemak (disimpan di perut, jadi buncit, dan jadi fatty liver).

Jeda Makan: Kearifan Kuno Bertemu Sains Modern

Di sinilah letak kearifan dari perintah puasa (seperti yang diajarkan oleh Allah SWT dalam Islam, atau praktik puasa dalam ajaran lain). Ternyata, ini bukan sekadar urusan spiritual, tapi instruksi kesehatan yang luar biasa.

Saat kita "mengistirahatkan perut" alias berpuasa, pabrik kita akhirnya bisa tutup sementara.

Apa yang terjadi saat pabrik tutup? Tim maintenance (pemeliharaan) akhirnya bisa masuk dan bersih-bersih. Dalam sains modern, proses "bersih-bersih" ini nyata dan bahkan memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran tahun 2016 untuk penemunya, Dr. Yoshinori Ohsumi.

Proses itu disebut Autophagy (dibaca: A-to-fa-gi).

Secara harfiah artinya "memakan diri sendiri". Saat kita berpuasa (tidak ada energi baru masuk), tubuh kita menjadi pintar. Ia akan mencari sel-sel yang rusak, tua, atau abnormal (bakteri, virus, bibit kanker) lalu "memakan" dan mendaur ulangnya menjadi energi baru.

Inilah detoks alami terbaik di dunia

Intermittent Fasting: Puasa Versi Kekinian

Sekarang, konsep "mengistirahatkan perut" ini sedang tren lagi dengan nama keren: Intermittent Fasting (IF) atau Puasa Intermiten. IF bukanlah diet (mengatur apa yang dimakan), tapi pola makan (mengatur kapan harus makan).

Metodenya banyak, tapi yang populer misalnya:
16/8: 16 jam puasa (boleh minum air/kopi pahit), 8 jam "jendela makan" (misal makan dari jam 12 siang sampai jam 8 malam saja).

OMAD (One Meal A Day): Ini yang paling mirip dengan konsep "makan 1x sehari" yang Anda sebut. Makan kenyang satu kali, lalu puasa 23 jam.

Studi di New England Journal of Medicine (2019) oleh Dr. Mark P. Mattson, merangkum puluhan tahun penelitian tentang IF. Hasilnya menunjukkan manfaat luar biasa, termasuk:

- Peningkatan Sensitivitas Insulin: Membantu membalikkan kondisi pra-diabetes.
- Perbaikan Kesehatan Jantung: Menurunkan tekanan darah dan kolesterol jahat.
- Kesehatan Otak: Memicu neurogenesis (pertumbuhan sel otak baru).
- Penurunan Berat Badan: Karena tubuh beralih membakar lemak sebagai energi.

Jadi, JKPers, jika Anda merasa stuck dengan masalah kesehatan meski sudah "makan teratur", mungkin masalahnya ada di kata "teratur" itu. Mungkin tubuh kita tidak butuh diisi terus-menerus.

Kita tidak menyarankan semua orang langsung makan 1x sehari. Tapi, cobalah untuk memberi jeda. Beri "pabrik" di perut Anda waktu untuk istirahat, untuk bersih-bersih, untuk maintenance.

Mulai dengan tidak ngemil di antara jam makan, atau coba tunda sarapan Anda sedikit lebih siang. ISF-28