Halo, para JKPers!
Pernah ngerasa nggak, sih, makin ke sini, kita makin sering dengar penyakit
aneh-aneh? Diabetes Tipe 2 sekarang menyerang usia muda, obesitas jadi
'pandemi' baru, belum lagi penyakit autoimun dan GERD yang kayaknya jadi
langganan.
Kita selalu disalahkan pada "makanan" (junk food, gula berlebih), tapi
jarang ada yang menantang "frekuensi" makannya.
Dari kecil, kita didoktrin: "Makan itu harus tiga kali sehari! Sarapan,
makan siang, makan malam." Kalau skip sarapan, dianggap bakal kena masalah.
Tapi, benarkah 'aturan' ini sehat? Atau jangan-jangan, inilah salah satu
biang kerok masalah kesehatan modern?
Hari ini, kita akan bedah topik yang agak 'panas' ini.
Mitos Makan 3x Sehari: Aturan dari Mana?
Kalau kita jujur, JKPers, aturan makan 3x sehari itu bukanlah aturan
biologis tubuh manusia. Itu lebih merupakan konstruksi sosial dan budaya.
Coba kita telusuri sejarahnya. Banyak sejarawan setuju bahwa pola makan 3x
sehari yang kaku ini baru populer di era Revolusi Industri (abad 18-19).
Kenapa? Karena buruh pabrik butuh jadwal kerja yang terstruktur. Mereka
diberi jam istirahat pasti untuk "isi bensin" (makan siang) agar bisa lanjut
kerja.
Di Indonesia sendiri, tradisi sarapan (terutama nasi) juga tidak sekuno yang
kita bayangkan, banyak dipengaruhi oleh budaya agraris dan era kolonial.
Lalu, bagaimana "orang zaman dulu"?
Meskipun klaim "orang zaman dulu hanya makan 1 kali" mungkin terlalu
menyederhanakan (karena beda budaya, beda kebiasaan), faktanya mereka tidak
makan sesering kita. Mereka makan saat ada makanan, atau saat benar-benar
lapar. Mereka tidak punya kulkas untuk ngemil tengah malam atau delivery
order 24 jam.
Perutmu adalah Pabrik, Bukan Tempat Sampah
Coba bayangkan perut dan sistem pencernaan kita seperti sebuah pabrik
pengolahan makanan yang canggih. Setiap kali makanan masuk (terutama
karbohidrat dan gula), pabrik ini akan memanggil 'manajer'-nya, yaitu hormon
insulin. Tugas insulin adalah mengambil gula dari darah dan menyimpannya ke
dalam sel untuk energi.
Masalahnya muncul di sini:
Pukul 07.00: Sarapan (Insulin naik)
Pukul 10.00: Ngemil (Insulin naik lagi)
Pukul 12.00: Makan siang (Insulin naik tinggi)
Pukul 16.00: Ngopi + Pisang goreng (Insulin naik lagi)
Pukul 19.00: Makan malam (Insulin naik)
Pukul 21.00: Ngemil nonton TV (Insulin naik)
Pabrik ini tidak pernah dapat jatah libur. Insulin kita terus-menerus
'diteriaki' untuk bekerja. Apa yang terjadi jika manajer disuruh kerja 24/7
tanpa henti? Dia bakal kelelahan, dan para pekerjanya (sel tubuh) jadi
'budek' alias tidak lagi merespons perintahnya.
Inilah yang secara medis disebut Resistensi Insulin
Gula yang tidak bisa masuk ke sel akhirnya menumpuk di darah (jadi diabetes)
dan diubah oleh hati menjadi lemak (disimpan di perut, jadi buncit, dan jadi
fatty liver).
Jeda Makan: Kearifan Kuno Bertemu Sains Modern
Di sinilah letak kearifan dari perintah puasa (seperti yang diajarkan oleh
Allah SWT dalam Islam, atau praktik puasa dalam ajaran lain). Ternyata, ini
bukan sekadar urusan spiritual, tapi instruksi kesehatan yang luar biasa.
Saat kita "mengistirahatkan perut" alias berpuasa, pabrik kita akhirnya bisa
tutup sementara.
Apa yang terjadi saat pabrik tutup? Tim maintenance (pemeliharaan) akhirnya
bisa masuk dan bersih-bersih. Dalam sains modern, proses "bersih-bersih" ini
nyata dan bahkan memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran tahun 2016 untuk
penemunya, Dr. Yoshinori Ohsumi.
Proses itu disebut Autophagy (dibaca: A-to-fa-gi).
Secara harfiah artinya "memakan diri sendiri". Saat kita berpuasa (tidak ada
energi baru masuk), tubuh kita menjadi pintar. Ia akan mencari sel-sel yang
rusak, tua, atau abnormal (bakteri, virus, bibit kanker) lalu "memakan" dan
mendaur ulangnya menjadi energi baru.
Inilah detoks alami terbaik di dunia
Intermittent Fasting: Puasa Versi Kekinian
Sekarang, konsep "mengistirahatkan perut" ini sedang tren lagi dengan nama
keren: Intermittent Fasting (IF) atau Puasa Intermiten. IF bukanlah diet
(mengatur apa yang dimakan), tapi pola makan (mengatur kapan harus makan).
Metodenya banyak, tapi yang populer misalnya:
16/8: 16 jam puasa (boleh minum air/kopi pahit), 8 jam "jendela makan"
(misal makan dari jam 12 siang sampai jam 8 malam saja).
OMAD (One Meal A Day): Ini yang paling mirip dengan konsep "makan 1x sehari"
yang Anda sebut. Makan kenyang satu kali, lalu puasa 23 jam.
Studi di New England Journal of Medicine (2019) oleh Dr. Mark P. Mattson,
merangkum puluhan tahun penelitian tentang IF. Hasilnya menunjukkan manfaat
luar biasa, termasuk:
- Peningkatan Sensitivitas Insulin: Membantu membalikkan kondisi
pra-diabetes.
- Perbaikan Kesehatan Jantung: Menurunkan tekanan darah dan kolesterol
jahat.
- Kesehatan Otak: Memicu neurogenesis (pertumbuhan sel otak baru).
- Penurunan Berat Badan: Karena tubuh beralih membakar lemak sebagai energi.
Jadi, JKPers, jika Anda merasa stuck dengan masalah kesehatan meski sudah
"makan teratur", mungkin masalahnya ada di kata "teratur" itu. Mungkin tubuh
kita tidak butuh diisi terus-menerus.
Kita tidak menyarankan semua orang langsung makan 1x sehari. Tapi, cobalah
untuk memberi jeda. Beri "pabrik" di perut Anda waktu untuk istirahat, untuk
bersih-bersih, untuk maintenance.
Mulai dengan tidak ngemil di antara jam makan, atau coba tunda sarapan Anda
sedikit lebih siang. ISF-28

