Jurnalkitaplus – Istilah "Cancel Culture" atau "Budaya Membatalkan" telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika media sosial global dan nasional. Fenomena ini merujuk pada praktik penolakan atau pemboikotan massal terhadap individu atau figur publik yang dianggap telah melakukan atau mengatakan sesuatu yang kontroversial, menyinggung, atau tidak etis.
Fenomena ini adalah wujud nyata dari kekuatan kolektif netizen yang menuntut pertanggungjawaban sosial (akuntabilitas) di ruang publik.
Apa Itu Sebenarnya "Cancel Culture"?
Secara sederhana, cancel culture adalah sebuah bentuk hukuman sosial skala besar yang seringkali diinisiasi dan digerakkan melalui platform media sosial. Tujuannya adalah untuk "membatalkan" atau mengucilkan seseorang.
Ketika seseorang "dibatalkan," dampaknya bisa sangat cepat dan signifikan, mencakup:
Kehilangan Kontrak Kerja: Banyak selebriti dan influencer yang kehilangan endorsement atau program televisi.
Penolakan Sosial: Diisolasi dari komunitas profesional dan penggemar.
Kerusakan Reputasi: Reputasi publik yang dibangun bertahun-tahun dapat hancur dalam hitungan hari.
Contoh Nyata di Dalam dan Luar Negeri
Dampak cancel culture tidak mengenal batas. Beberapa contoh terkenal di antaranya:
Saipul Jamil setelah dirinya bebas dari kasus pelecehan seksual yang memicu boikot media karena perilaku tak lantas ketika dirinya bebas. Lalu marak terjadi Petisi penolakan di media nasional.
Rizky Billar pada dugaan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap istrinya yang menyebabkan dirinya dipecat dari posisi pembawa acara TV.
J.K. Rowling dengan komentar yang dianggap kontroversial oleh komunitas transgender. Disusul dengan kecaman massal dan diisolasi oleh sejumlah aktor Harry Potter.
Meredam Ganasnya Budaya Membatalkan
Meskipun cancel culture lahir dari niat untuk meminta pertanggungjawaban, seringkali praktiknya bergeser menjadi perundungan massal (cyberbullying) yang destruktif, bukan konstruktif.
Alih-alih berharap fenomena ini hilang, upaya yang lebih realistis adalah mengubah budaya penghakiman ini menjadi budaya yang lebih dewasa.
Langkah-Langkah Menuju Budaya Akuntabilitas:
- Netizen Menerapkan Kritik Kritis: Masyarakat didorong untuk memverifikasi informasi dan memahami konteks secara menyeluruh sebelum ikut serta dalam penghakiman.
- Mendorong Dialog dan Edukasi: Menggunakan isu kontroversial sebagai momen untuk edukasi sosial, bukan langsung menuntut kehancuran karier.
- Kesempatan Kedua: Menciptakan ruang bagi individu yang bersalah untuk mengakui, memperbaiki, dan menunjukkan perubahan nyata (akuntabilitas), bukan hanya sekadar hukuman tanpa akhir.
- Permintaan Maaf yang Tulus: Bagi figur publik, kunci pemulihan adalah merespons cepat dengan permintaan maaf yang tulus dan berjanji untuk melakukan tindakan perbaikan yang konkret.
Pada akhirnya, cancel culture akan terus berkembang selama media sosial ada. Tantangannya adalah bagi masyarakat untuk memoderasi kekuatan online ini, mengubahnya dari sekadar alat penghukum menjadi mekanisme yang mendorong pertanggungjawaban yang disertai kesempatan untuk belajar dan tumbuh. (FG12)

