Revisi KUHAP 2025: Perebutan Wewenang Antara Polisi dan Jaksa Mengancam Hak Warga -->

Header Menu

Revisi KUHAP 2025: Perebutan Wewenang Antara Polisi dan Jaksa Mengancam Hak Warga

Jurnalkitaplus
26/11/25



Jurnalkitaplus - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada November 2025 setelah melewati perjuangan panjang selama 13 tahun. Revisi ini dimaksudkan untuk menyesuaikan hukum acara pidana dengan KUHP baru yang akan berlaku pada 2026, serta menciptakan sistem peradilan yang lebih responsif dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Namun, di balik pengesahan tersebut, terkuak perebutan kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan yang berpotensi mengorbankan hak-hak dasar warga negara ketika berhadapan dengan hukum.


Kontroversi utama dalam revisi KUHAP terletak pada pembagian kewenangan penyidikan dan penyadapan antara polisi dan jaksa. Jaksa menuntut dominasi penuh atas proses penanganan perkara melalui asas dominus litis, yang memberi mereka kontrol utama atas penyidikan secara keseluruhan. Sementara itu, polisi tidak ingin kewenangannya berkurang, terutama karena selama ini mereka menjadi penyidik utama di lapangan. Akhirnya, revisi menghasilkan kompromi dengan polisi tetap berperan sebagai penyidik utama, termasuk dalam koordinasi dengan penyidik dari lembaga lain, sementara Kejaksaan Agung dikecualikan dari kewajiban koordinasi dengan kepolisian.


Ironisnya, lobi dan perebutan kewenangan ini terjadi di tengah kebutuhan mendesak akan hukum acara pidana yang benar-benar berpihak pada hak warga negara, seperti perlindungan atas pendampingan advokat, larangan kekerasan saat pemeriksaan, dan peradilan cepat serta adil. Kritik dari masyarakat sipil menyoroti bahwa revisi ini lebih mencerminkan kompromi politik dan institusional daripada memperkuat perlindungan hak asasi manusia dan mencegah potensi kesewenang-wenangan aparat.


Revisi KUHAP ini perlu dilihat sebagai momentum untuk memperbarui sistem hukum pidana Indonesia agar lebih adil dan manusiawi. Namun, jika perebutan wewenang antara institusi penegak hukum tetap dominan dalam proses pembentukan aturan, risiko ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan tetap mengintai masyarakat. Pemerintah dan DPR harus memastikan revisi KUHAP tidak hanya memenuhi kepentingan birokrasi, melainkan harus mengutamakan perlindungan dan keberpihakan kepada warga negara yang menjadi subjek hukum.


Revisi KUHAP adalah langkah penting menuju sistem peradilan pidana modern di Indonesia. Namun, demi memastikan bahwa hukum dapat benar-benar melindungi masyarakat, proses revisi dan implementasinya harus transparan, akuntabel, dan responsif terhadap masukan publik. Keseimbangan antara kewenangan aparat dan perlindungan hak warga menjadi kunci keberhasilan reformasi hukum acara pidana ini. (FG12)