Apa isi artikel :
- Empat aktivis lingkungan & HAM—Adetya Pramandira (Dera), Fathul Munif, Laras Faizati, dan Gunretno—ditangkap atau dipanggil polisi dalam rentang beberapa hari.
- Dera dan Munif ditahan menggunakan UU ITE dan Pasal 160 KUHP, terkait aksi protes.
- Laras dijerat karena unggahan media sosial saat aksi Agustus.
- Gunretno, tokoh Kendeng, diperiksa terkait dugaan menghalangi tambang karst.
- Mahfud MD, anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri sekaligus eks Menko Polhukam, menilai para aktivis ini seharusnya dilindungi oleh Pasal 66 UU 32/2009, bukan dikriminalisasi.
- Mahfud meminta Bareskrim dan Polda Jateng mempertimbangkan penghentian penahanan dan pemeriksaan.
Jurnalkitaplus - Gelombang penangkapan aktivis lingkungan dan HAM kembali menyentak ruang publik. Dalam hitungan hari, sedikitnya empat aktivis—Dera, Fathul Munif, Laras Faizati, dan Gunretno—harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Tuduhannya beragam, dari UU ITE hingga Pasal 160 KUHP. Namun pola yang muncul terasa serupa: suara kritis dianggap ancaman, bukan koreksi.
Penangkapan Adetya Pramandira (Dera) dan Fathul Munif di Semarang menjadi titik paling mencolok. Dera, staf advokasi WALHI Jateng sekaligus bagian dari Friends of the Earth Asia Pacific, baru saja pulang dari Jakarta setelah mendampingi warga yang mengadukan dugaan kriminalisasi penolakan tambang. Beberapa jam kemudian, ia dan Munif disergap polisi subuh-subuh dan langsung dibawa ke ruang Tipidter. Tanpa jeda, narasi “penghasutan” dan “penyebaran informasi elektronik” dijadikan alasan penahanan.
Kasus serupa menimpa Laras Faizati, yang dijerat akibat unggahan media sosial saat aksi Agustus 2025. Sementara Gunretno, tokoh Kendeng yang sudah bertahun-tahun mengawal isu lingkungan, juga dipanggil atas dugaan menghalangi aktivitas tambang karst. Jika suara warga yang mempertanyakan izin tambang mulai dianggap pelanggaran, maka sesungguhnya ruang demokrasi sedang dipersempit secara sistematis.
Di sinilah Mahfud MD masuk dengan suara lebih lantang. Melalui Komisi Percepatan Reformasi Polri, ia meminta aparat untuk melepaskan para aktivis dan menghormati jaminan perlindungan dalam Pasal 66 Undang-Undang 32/2009, yang dengan tegas menegaskan bahwa pegiat lingkungan tidak dapat dituntut pidana maupun perdata ketika memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Mahfud, yang dikenal vokal terhadap isu hukum dan kebebasan sipil, mengingatkan bahwa kriminalisasi terhadap pembela lingkungan bukan hanya tindakan sewenang-wenang, tetapi juga bertentangan dengan prinsip negara hukum. Ia mengirim pesan jelas ke Bareskrim dan Polda Jateng: kekuatan negara seharusnya melindungi mereka yang memperjuangkan kepentingan publik, bukan menekan mereka.
Editorial ini menilai, seruan Mahfud adalah alarm keras untuk kepolisian. Setiap penangkapan aktivis tanpa kehati-hatian hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Jika aparat tidak peka, Indonesia berisiko masuk ke fase baru: ketika kritik dianggap kejahatan, dan ketika membela lingkungan dianggap makar.
Demokrasi yang sehat mensyaratkan keberanian berbicara, bukan pembungkaman. Dera, Munif, Laras, Gunretno—dan para aktivis lainnya—tidak seharusnya duduk di ruang pemeriksaan, melainkan di barisan terdepan penjaga masa depan lingkungan negeri ini.
Kini bola ada di tangan Polri. Mundur selangkah untuk menegakkan keadilan jauh lebih terhormat daripada melaju dengan memadamkan suara rakyat. (FG12)

