Jurnalkitaplus — Lantang dan tanpa basa-basi, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa baru saja melontarkan ultimatum maut yang mengguncang institusi Direktur Jenderal Bea Cukai (DJBC). Ancaman ini bukan main-main: Jika DJBC gagal membersihkan citra dan memperbaiki kinerja yang diwarnai "penyakit kronis" ketidakpuasan publik dan tuduhan pungli, nasibnya hanya satu: pembekuan total.
Ancaman ini bukan sekadar retorika. Di mata Purbaya, Bea Cukai memiliki waktu satu tahun untuk membuktikan bahwa mereka layak dipertahankan. Jika gagal? 16.000 pegawai terancam dirumahkan, mengulang episode memalukan pada tahun 1985 di era Presiden Soeharto, di mana tugas Bea Cukai diserahkan kepada perusahaan asing, SGS3.
Janji Manis vs. Realita Pungli
Menanggapi hantaman keras ini, Dirjen Bea Cukai Djaka Budhi Utama tampak mencoba menenangkan badai. Djaka mengakui ancaman Purbaya sebagai bentuk koreksi, bahkan berjanji untuk "berbenah diri" dan menghilangkan citra sarang pungli.
Namun, benarkah janji pembenahan kultur ini cukup? Alih-alih langsung menyasar akar masalah pungli yang menghantui masyarakat luas dan media sosial, Djaka justru mencontohkan penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) untuk mengatasi praktik underinvoicing di pintu masuk.
Pertanyaannya tajam: Apakah Bea Cukai sedang mencoba mengalihkan fokus? Publik tidak hanya marah karena kerugian negara akibat underinvoicing, tetapi yang lebih mendidih adalah pengalaman traumatis layanan yang buruk, lambat, dan tebalnya budaya pungli yang mencekik.
Ketergantungan pada teknologi canggih seperti AI adalah langkah maju, tapi teknologi manapun tidak akan mampu menyembuhkan kanker moral jika kultur kerja para punggawa di lapangan tidak segera dirombak dari akarnya.
Hitungan Mundur Warisan Memalukan
Djaka menyebut bahwa DJBC tidak ingin mengulang "sejarah kelam" pembekuan. Namun, ucapan tersebut hanya memiliki makna jika Bea Cukai bergerak cepat keluar dari zona nyaman dan memotong mata rantai oknum "bandel" yang katanya sedang "diproses" secara internal.
Kini, bola panas ada di tangan Djaka dan seluruh jajaran Bea Cukai. Waktu satu tahun adalah hitungan mundur. Ultimatum Purbaya adalah kesempatan terakhir bagi DJBC untuk membuktikan bahwa mereka adalah instansi yang melayani dan bukan sekadar menakut-nakuti.
Jika perbaikan hanya sebatas janji manis dan gimmick teknologi, maka nasib 16.000 pegawai dan kepercayaan publik akan dibekukan, bahkan sebelum Purbaya Yudhi Sadewa sempat mengetuk palu. Reformasi harus total, transparan, dan terasa dampaknya oleh rakyat. Kegagalan kali ini tak hanya merumahkan belasan ribu orang, tapi juga mengubur kredibilitas negara di mata dunia. (FG12)

