Jurnalkitaplus - Daur ulang dan ekonomi sirkular kerap dipromosikan sebagai jalan mulia menyelamatkan Bumi. Di panggung internasional, negara-negara maju tampil sebagai juara lingkungan—menggaungkan pengurangan emisi, pengendalian plastik, dan tanggung jawab global. Namun, di balik slogan hijau itu, ada praktik kotor yang jarang disorot: pemindahan krisis sampah ke negara-negara berkembang.
Fakta di lapangan menunjukkan, daur ulang global lebih sering menjadi narasi pembenaran ketimbang solusi nyata. Sampah plastik dan limbah elektronik dari Amerika Serikat, Inggris, dan negara Eropa lainnya dikirim ke Asia dan Afrika dengan label “bahan daur ulang”. Vietnam, Malaysia, Indonesia, hingga Ghana menjadi tujuan utama. Dokumen menyebutnya legal, tetapi isinya kerap campuran limbah beracun, plastik tak bisa didaur ulang, dan barang elektronik rusak total.
Konvensi Basel 1992 sejatinya melarang ekspor dan impor limbah berbahaya lintas negara. Namun, celah hukum dan kemunafikan politik membuat aturan itu tumpul. Amerika Serikat bahkan tidak menandatangani konvensi tersebut. Inggris, yang mengklaim diri sebagai bagian dari koalisi berambisi tinggi pengendalian plastik, tetap mengekspor ratusan ribu ton sampah setiap tahun. Janji pelarangan kerap berhenti di podium, sementara kontainer tetap bergerak di pelabuhan.
Modusnya beragam dan sistematis. Sampah disamarkan sebagai bahan baku industri, dikirim sebagai donasi atau bantuan, bahkan diputar lebih dulu lewat negara ketiga agar asal-usulnya kabur. Negara berkembang yang membuka impor serpihan plastik demi menopang industri kecil justru menjadi korban. Yang datang bukan bahan baku, melainkan masalah lingkungan dan kesehatan publik.
Dampaknya tidak abstrak. Sungai tercemar logam berat, udara dipenuhi dioksin dari pembakaran terbuka, dan warga sekitar tempat daur ulang menghadapi risiko kanker serta gangguan pernapasan. Di Turki, ribuan pekerja dilaporkan tewas di lokasi pengolahan sampah impor. Di Ghana, telur ayam mengandung dioksin ratusan kali di atas ambang batas aman akibat pembakaran limbah elektronik. Inilah harga yang dibayar negara miskin demi citra hijau negara kaya.
Ironisnya, semua itu dibungkus istilah ekonomi sirkular. Seolah-olah Bumi diselamatkan, padahal yang terjadi hanya pemindahan beban ekologis. Negara maju gagal mengendalikan produksi plastik dan konsumsi berlebihan di dalam negeri. Solusinya bukan mengurangi, melainkan mengekspor—membersihkan halaman sendiri dengan mengotori halaman orang lain.
Praktik ini layak disebut apa adanya: imperialisme sampah. Penjajahan tanpa tentara, tanpa senjata, tetapi dengan kontainer dan kontrak dagang. Selama dunia masih menoleransi kebohongan ini, daur ulang akan tetap menjadi mitos, dan keadilan lingkungan hanya jargon kosong dalam pidato global.
Referensi :
- Ekspor Sampah Inggris ke Indonesia Naik Drastis Sebesar 84 Persen - bethita.id
- Sampah Plastik Inggris Membanjiri Indonesia: Ancaman Baru di Balik Ekspor Polusi Global - https://snipernew.id

