Jurnalkitaplus - Bencana banjir dan gelombang kayu gelondongan yang menghantam Aceh dan Sumatra ternyata meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Di tengah tumpukan batang-batang besar yang terbawa arus, aparat kepolisian menemukan sesuatu yang tak bisa dianggap sebagai “sekadar kebetulan”: bekas potongan chainsaw. Temuan ini bukan hanya detail teknis, tetapi petunjuk kunci yang dapat mengubah cara publik melihat bencana tersebut—dari peristiwa alam menjadi dugaan kuat adanya campur tangan manusia.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa tanda potongan gergaji itulah yang kini menjadi fokus penyelidikan. Tim gabungan kepolisian dan Kementerian Kehutanan sedang menyusuri aliran sungai dari hilir hingga hulu, mencoba menelusuri jejak yang mungkin mengarah pada praktik pembalakan liar atau kelalaian perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut. “Ada beberapa kayu yang memiliki bekas potongan chainsaw. Itu akan kita dalami,” ujar Sigit—sebuah pernyataan yang menyiratkan bahwa bencana ini mungkin bukan semata-mata “kemurahan tangan alam”.
Langkah ini semakin tegas ketika Bareskrim Polri menyatakan penyelidikan sudah berjalan, mencakup seluruh perusahaan yang beroperasi di sekitar wilayah terdampak. Tak ada yang dikecualikan: baik perusahaan resmi maupun pelaku usaha ilegal yang selama ini mungkin bersembunyi di balik celah regulasi. “Sumbernya resmi atau tidak resmi, ada izin atau tidak, semuanya sedang diverifikasi,” tegas Brigjen Moh. Irhamni.
Jika benar ditemukan unsur pidana, maka gelombang kayu yang menghajar desa-desa itu bukan lagi semata akibat curah hujan ekstrem—melainkan alarm keras atas rusaknya tata kelola kawasan hutan. Bahkan, para pakar kebencanaan menilai daya rusak banjir kali ini sangat tidak wajar jika murni akibat proses alamiah. Ada indikasi bahwa hutan di hulu sudah lama sakit, terkoyak oleh aktivitas yang selama ini luput dari perhatian publik.
Editorial ini menilai, penyelidikan yang dilakukan Polri bukan hanya penting, tetapi krusial bagi masa depan tata kelola lingkungan Indonesia. Bencana yang merenggut nyawa dan merusak rumah warga tidak boleh lagi dipandang sebagai siklus rutin alam. Jika jejak gergaji benar adanya, maka bencana ini sesungguhnya adalah buah dari pengkhianatan terhadap hutan, dan konsekuensinya harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Kini publik menunggu:
Apakah penyelidikan ini akan benar-benar menelusuri “akar” masalah hingga tuntas?
Atau sekali lagi tersangkut di antara kepentingan ekonomi yang sulit disentuh? (FG12)

