Jurnalkitaplus.com – Pemandangan kontras tersaji di Sumatra dalam sepekan terakhir. Di satu sisi, ratusan nyawa melayang dan ribuan warga terisolasi akibat banjir bandang dan longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Di sisi lain, elite pemerintah di Jakarta masih berkutat pada definisi administratif dan prosedur birokrasi mengenai penetapan "Status Bencana Nasional".
Hingga Senin (1/12), data Basarnas mencatat angka yang mengerikan: 447 korban meninggal dunia dan 399 orang masih dalam pencarian. Namun, respons dari pusat terasa dingin. Presiden Prabowo Subianto, usai meninjau lokasi, menyebut penanganan "sudah cukup". Senada dengan itu, Kepala BNPB menyatakan status darurat nasional masih dalam tahap diskusi, membandingkan bencana ini dengan Tsunami 2004 atau pandemi COVID-19 yang dianggap berskala jauh lebih masif.
Pernyataan "sudah cukup" ini terdengar menyakitkan jika disandingkan dengan realitas di lapangan. Para relawan menemukan fakta bahwa banyak titik pengungsian di Sumatera Utara belum tersentuh bantuan pemerintah sama sekali. Bahkan, tiga bupati di Aceh secara terbuka menyatakan ketidaksanggupan mereka menangani dampak bencana karena keterbatasan alat dan akses yang terputus total.
Sikap pemerintah yang berlindung di balik otonomi daerah dan prosedur berjenjang—di mana daerah harus menyerah dulu baru pusat mengambil alih—memang secara administratif benar. Namun, dalam konteks krisis kemanusiaan di mana ratusan nyawa telah hilang, ketaatan pada prosedur birokrasi yang kaku terasa sebagai bentuk nirempati.
Penetapan status Bencana Nasional bukan sekadar label. Seperti yang disuarakan WALHI dan Greenpeace, status ini membuka keran sumber daya nasional secara penuh, mempermudah komando lintas kementerian, dan mempercepat pemulihan infrastruktur vital yang lumpuh total. Lebih jauh lagi, penetapan ini menjadi simbol kehadiran negara di tengah rakyatnya yang sedang berduka hebat.
Jika pemerintah pusat bersikeras tidak menaikkan status bencana, maka beban pembuktian ada di pundak mereka. Pemerintah wajib menjelaskan kepada publik—bukan hanya dengan klaim sepihak—mengapa penanganan daerah dianggap mampu padahal jeritan minta tolong di media sosial dan surat ketidaksanggupan bupati sudah beredar luas.
Bencana Sumatra adalah ujian bagi pemerintahan baru. Apakah akan dikenang sebagai pemerintahan yang sigap dan berempati, atau pemerintahan yang membiarkan warganya tenggelam dalam lumpur sembari menunggu prosedur administrasi terpenuhi? Nyawa rakyat tidak bisa menunggu disposisi birokrasi. (FG12)

