Jurnalkitaplus – Banjir dan longsor yang meluluhlantakkan Sumatera Utara bukan sekadar bencana alam. Ia adalah akumulasi dari kelalaian panjang, pengawasan yang tumpul, dan keberanian perusahaan membuka lahan tanpa memedulikan batas ekologis. Kini, setelah ribuan rumah porak-poranda, 215.652 jiwa mengungsi, dan puluhan nyawa terenggut, negara akhirnya bicara tegas: pelaku perusakan lingkungan harus dimintai pertanggungjawaban.
Pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melalui Kepala Biro Humas, Yulia Suryanti di laman Kompas.com, menunjukkan perubahan nada. Tidak lagi sekadar imbauan, tetapi komitmen untuk menegakkan hukum terhadap delapan perusahaan yang diduga kuat berada di balik kerentanan ekologis kawasan hulu. Proses klarifikasi, verifikasi, dan pemeriksaan lapangan dilakukan dengan janji transparansi—sebuah langkah yang selama ini publik tunggu.
Namun persoalannya bukan hanya menindak. Persoalan sebenarnya adalah mengapa pembukaan lahan yang begitu masif—untuk PLTA, hutan tanaman industri, pertambangan, hingga kebun sawit—bisa berlangsung selama bertahun-tahun tanpa koreksi berarti. Pantauan udara KLH justru menunjukkan fakta yang selama ini dikeluhkan masyarakat: hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dikerjakan tanpa mempertimbangkan keselamatan warga hilir.
Ketegasan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menghentikan operasional empat perusahaan—PT Agincourt Resources, PTPN III, PT NSHE, dan satu perusahaan yang masih dirahasiakan—patut diapresiasi. Ini bukan langkah kecil. Menghentikan operasional korporasi besar berarti membuka babak baru bahwa negara mulai tidak gentar berhadapan dengan kepentingan ekonomi yang selama ini mengangkangi keselamatan publik.
Tetapi penghentian operasional bukan akhir. Audit lingkungan yang diwajibkan KLH harus dijaga ketat agar tidak berubah menjadi formalitas. Publik berhak mengetahui hasil pemeriksaan, pola pelanggaran, dan rencana pemulihan lingkungan yang konkret. Tanpa itu, semua tindakan ini hanya akan menjadi headline sesaat yang menguap ketika bencana mereda.
Bencana Sumatera Utara adalah alarm keras bahwa tata ruang dan pengawasan lingkungan di Indonesia berada pada titik kritis. Ketika hulu digunduli, hilir akan tenggelam—sebuah logika sederhana yang entah mengapa selalu diabaikan sampai tragedi tiba.
Editorial ini berpandangan bahwa momentum ini tidak boleh hilang. KLH harus membuktikan bahwa hukuman bagi perusak lingkungan bukan sekadar ancaman di atas kertas. Dan perusahaan-perusahaan besar harus belajar bahwa keuntungan tidak bisa lagi dibangun dari air mata warga.
Sebab jika negara kembali ragu, jangan salahkan alam jika kelak ia menagih dendanya dengan harga lebih mahal. (FG12)

