Jurnalkitaplus – Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat impor beras kumulatif mencapai 364,3 ribu ton hingga Oktober 2025, dengan nilai fantastis setara Rp2,97 triliun, kembali memicu alarm merah dalam narasi ketahanan pangan nasional.
Angka ini terasa kontradiktif dengan klaim optimis yang secara reguler disuarakan pemerintah, terutama Kementerian Pertanian (Kementan), mengenai kondisi stok dan produksi beras medium yang disebut-sebut aman, bahkan surplus.
Kementan, melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi, memang telah bergegas memberikan klarifikasi. Mereka bersikeras bahwa impor tersebut sama sekali bukan beras medium, yang ketersediaannya diklaim sepenuhnya dipenuhi produksi dalam negeri. Impor senilai triliunan rupiah itu disebut murni untuk kebutuhan beras khusus dan industri.
Jubah Beras Khusus
Klarifikasi Kementan merinci bahwa beras yang masuk adalah beras pecah 100% (menir) sebagai bahan baku industri, serta varian khusus seperti Basmati, Jasmine, dan Japonica, termasuk beras untuk kebutuhan diet atau restoran asing. Jenis-jenis ini, menurut Kementan, memang tidak diproduksi dalam skala besar di Indonesia.
Pembedaan ini secara teknis mungkin benar. Kebijakan neraca komoditas memang dirancang untuk mengisi ceruk pasar yang tidak dapat dipenuhi petani lokal. Namun, narasi "beras khusus" tidak boleh menjadi jubah untuk menutupi kelemahan fundamental dalam sektor pangan.
Pertanyaan kritisnya: Di tengah kondisi petani lokal yang masih berjuang, apakah pasar beras medium benar-benar kebal dari dampak psikologis dan supply chain dari aliran impor yang masif, bahkan jika ia berlabel "khusus"?
Stabilitas pangan sejatinya tidak hanya diukur dari kecukupan kuantitas di gudang Bulog atau klaim surplus di tingkat makro, tetapi juga dari stabilitas harga gabah di tingkat petani. Ketika impor terus berlanjut—apapun jenisnya—kekhawatiran akan depresiasi harga gabah selalu membayangi.
Keseimbangan Harga yang Rapuh
Situasi harga yang dilaporkan BPS semakin memperlihatkan betapa rapuhnya keseimbangan ini.
BPS mencatat beras mengalami deflasi 0,59% (bulanan) berkat masa panen raya dan intervensi penyaluran beras SPHP. Ini adalah kabar baik sementara. Namun, BPS turut memberikan peringatan keras bahwa ada kecenderungan beras akan mengalami inflasi pada Desember.
Deflasi saat ini adalah refleksi musim panen dan bantuan pemerintah, bukan solusi struktural. Peringatan inflasi adalah bukti bahwa fondasi ketahanan pangan kita masih bergantung pada siklus musiman dan kebijakan jangka pendek, bukan pada kemampuan swasembada yang berkelanjutan dan mandiri.
Pemasukan beras industri dan khusus seharusnya menjadi dorongan kuat bagi pemerintah untuk segera membangun industri pangan hulu-hilir yang mampu memproduksi kebutuhan khusus tersebut secara domestik. Indonesia memiliki potensi agrikultur yang jauh lebih besar dari sekadar mencukupi beras medium.
Alih-alih terus-menerus mengandalkan impor untuk memenuhi ceruk pasar yang "tidak diproduksi", negara harus menginvestasikan triliunan rupiah itu untuk penelitian, pengembangan varietas khusus, dan modernisasi pertanian yang mampu menghasilkan Basmati atau Japonica lokal.
Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan beras khusus tidak menjadi jalan pintas bagi impor. Prioritas harus tetap tunggal: hentikan ketergantungan impor, lindungi harga gabah petani, dan capai kedaulatan pangan sejati. Sebab, Rp2,97 triliun yang menguap ke luar negeri adalah harga yang terlalu mahal untuk sebuah klaim "surplus". (FG12)

