Kontroversi Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi oleh Presiden Prabowo: Dilema Hukum Antara Prerogatif dan Status Terpidana -->

Header Menu

Kontroversi Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi oleh Presiden Prabowo: Dilema Hukum Antara Prerogatif dan Status Terpidana

Jurnalkitaplus
02/12/25



Jurnalkitaplus - Eks Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, bersama dua terpidana lainnya dalam kasus korupsi ASDP, telah menerima rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto. Keputusan ini, yang diumumkan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Istana pada Selasa, 25 November 2025, bertujuan memulihkan hak dan martabat para terpidana kembali ke sedia kala.


Dua terpidana lain yang juga mendapatkan rehabilitasi adalah Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Muhammad Yusuf Hadi, dan Mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono.


Sebelumnya, Ira Puspadewi divonis bersalah dalam kasus korupsi proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) yang terjadi antara tahun 2019 hingga 2022. Ira dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara. Sementara itu, dua anak buah Ira masing-masing dihukum 4 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan penjara.


KPK Ungkap 12 Pelanggaran Berat


Pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto ini memicu perhatian publik, mengingat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya telah menyatakan menemukan setidaknya 12 tindakan melawan hukum oleh mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi dan dua pejabat lainnya.


Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa penyidikan lembaga antirasuah menemukan rangkaian keputusan strategis yang dinilai menyimpang. Pelanggaran yang diungkap termasuk perubahan mendasar pada aturan internal ASDP demi memenuhi syarat kerja sama usaha dengan PT JN, serta pengalihan rencana kerja perusahaan yang semula untuk pembangunan kapal menjadi rencana akuisisi. KPK juga menuding Ira mengabaikan risiko akuisisi yang tinggi, tidak menyiapkan feasibility study yang layak, dan mematok nilai akuisisi lebih dulu melalui pengkondisian dengan pemilik PT JN.


Pasca-pemberian rehabilitasi, Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa KPK harus menerima surat keputusan pemberian rehabilitasi dari Kementerian Hukum terlebih dahulu sebelum memproses pembebasan ketiga terdakwa. Meskipun pembebasan dilakukan, KPK menyatakan akan tetap melanjutkan proses hukum kasus dugaan korupsi ASDP dan tidak menutup kasus tersebut.


Dilema Aturan Hukum: KUHAP vs. Konstitusi


Langkah Presiden memberikan rehabilitasi kepada terpidana menuai polemik dan perdebatan di kalangan pakar hukum, terutama terkait dasar hukumnya.


Dasar Konstitusional (Prerogatif Presiden):


Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menjelaskan bahwa belum ada undang-undang khusus yang mengatur soal rehabilitasi seperti yang diberikan Presiden, kecuali Pasal 14 UUD 1945.


Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: "Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung".


Yusril menyebut rehabilitasi ini didasarkan pada konvensi ketatanegaraan—yaitu praktik penyelenggaraan negara yang dilakukan berulang kali namun belum diatur secara tertulis. Pemberian rehabilitasi oleh Presiden bukanlah hal baru, salah satu contohnya adalah rehabilitasi nama baik Letjen TNI (Purn) HR Dharsono pada tahun 1998 oleh Presiden BJ Habibie.


Kritik dari Sisi Hukum Pidana:


Dikutip dari RRI.co.id, pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Trisno Raharjo, menilai bahwa polemik ini muncul karena belum adanya pengaturan yang tegas terkait rehabilitasi.


Menurutnya, penggunaan istilah rehabilitasi pada pihak yang telah diputus bersalah tidak sesuai dengan konsep dasarnya, karena rehabilitasi seharusnya diberikan ketika seseorang dinyatakan tidak bersalah. Hakim bahkan bisa langsung menyatakan dalam putusan bahwa terdakwa berhak memperoleh rehabilitasi.


Pakar hukum dari Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, menambahkan bahwa berdasarkan Pasal 97 Ayat (1) KUHAP tahun 1981, rehabilitasi hanya bisa diberikan kepada seseorang yang diputus bebas atau lepas, dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.


Trisno menegaskan bahwa seseorang yang telah berstatus terpidana (seperti Ira Puspadewi) tidak tepat secara hukum untuk menerima rehabilitasi, karena pemidanaannya tetap ada dan tidak dapat dianggap hilang begitu saja.


Ira Puspadewi adalah Eks Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), yang menjabat pada periode 2017–2024. Ia dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi yang melibatkan proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) selama tahun 2019-2022, di mana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya menemukan adanya 12 tindakan melawan hukum, seperti perubahan aturan internal demi KSU dan pengabaian risiko akuisisi yang tinggi. Atas kasus tersebut, Ira Puspadewi dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara disertai denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


Meskipun berstatus terpidana, Ira dan dua terpidana lainnya resmi mendapatkan rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto yang suratnya ditandatangani pada 25 November 2025. Pemberian rehabilitasi ini ditujukan untuk memulihkan hak dan martabat para terpidana, dan didasarkan pada Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 dan konvensi ketatanegaraan, mengingat belum adanya undang-undang khusus tentang rehabilitasi yang diberikan oleh Presiden. Namun, langkah ini menimbulkan polemik, karena beberapa pakar hukum menilai penggunaan istilah rehabilitasi pada pihak yang telah diputus bersalah tidak sesuai dengan konsep dasarnya. (FG12)


Sumber : kompas, RRI