JURNALKITAPLUS - Fenomena surat Pemerintah Aceh ke UNDP dan UNICEF untuk bantuan pascabencana mencerminkan ketegangan klasik antara otonomi daerah dan sentralisme birokrasi nasional. Gubernur Muzakir Manaf (Mualem) mengaku tak tahu surat resmi dari Pemprovnya sendiri, sementara Mendagri Tito Karnavian hanya berjanji "nanti kita pelajari".
Kasus ini patut jadi cermin: apakah regulasi bantuan internasional justru menghambat respons cepat saat darurat?
Miskomunikasi Internal Pemprov Aceh
Kronologi dimulai akhir November 2025 dengan banjir bandang di Aceh, diikuti surat resmi sekitar 14 Desember ke dua lembaga PBB yang punya pengalaman tsunami 2004. Juru Bicara Muhammad MTA mengonfirmasi pengiriman, tapi Mualem bersikukuh itu urusan LSM, bukan Pemprov.
Ironisnya, hingga 16 Desember belum jelas siapa penandatangan—pertanyaan yang masih menggantung meski MTA diminta klarifikasi tertulis. Ini menunjukkan lemahnya koordinasi internal, di mana gubernur terisolasi dari keputusan birokratnya sendiri.
Respons Pusat yang Hati-Hati
Pemerintah pusat melalui BNPB sudah supervisi status darurat provinsi, tapi Mendagri menunda sikap tegas dengan alasan kajian substansi dan mekanisme hukum.
Regulasi seperti Perkepala BNPB No. 6/2018 tegas: pemda tak boleh langsung hubungi pihak asing; semua lewat pusat via Kemenlu, BNPB, dan Kemenkeu. Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono ingatkan prosedur ini untuk hindari tumpang tindih, sementara Waketum DPP PBB Ali Amran dukung status nasional agar akses bantuan lebih luas.
Gambaran Birokrasi yang Masih Kaku
Kasus Aceh ilustrasikan birokrasi Indonesia: hirarkis, lambat, dan kurang fleksibel saat krisis. Pemda terdesak ambil inisiatif mandiri, tapi terbentur aturan berjenjang yang prioritas pusat—meski realitas lapangan menuntut kecepatan.
Reformasi via GDRBN 2025-2045 janjikan transformasi digital kolaboratif, tapi fenomena ini bukti pendekatan instansional masih dominan, berpotensi perburuk penderitaan korban bencana dengan korban jiwa 431 jiwa.
Pemerintah perlu revisi regulasi darurat: beri pemda wewenang terbatas untuk komunikasi awal internasional, asal sinkron BNPB. Tanpa itu, inisiatif lokal seperti Aceh berisiko jadi kontroversi, bukan solusi. (FG12)

