Sebuah refleksi hangat disampaikan Ustadz Joko Kristiyanto, M.Psi, yang mengajak peserta istighosah di Reksa Mahardhika Utama melihat makna bela negara dari sudut yang lebih dekat dan manusiawi.
Bela negara, menurut beliau, tidak selalu dimulai dari barisan depan atau simbol-simbol besar, tetapi dari kondisi paling dasar dalam diri manusia, yakni kewarasan jiwa.
Tidak semua orang bisa membela, sebab membela sesuatu berangkat dari cara berpikir yang sehat. Kewarasan menjadi indikator utamanya. Pada laki-laki, kesehatan jiwa dapat dikenali dari pola tidur dan pola makan. Tidur yang terlalu sulit atau justru berlebihan, selera makan yang menurun atau meningkat drastis, sering kali menjadi sinyal bahwa ada yang perlu diperhatikan. Pada perempuan, kesehatan jiwa juga tercermin dari keteraturan siklus menstruasi.
Ketidakteraturan yang jauh dari kebiasaan dapat menjadi tanda bahwa tubuh dan jiwa sedang tidak seimbang. Dari kewarasan itulah seseorang mampu membela di luar dirinya. Namun sebelum melangkah lebih jauh, Ustadz Joko mengingatkan pentingnya melihat rumah tangga sebagai organisasi terkecil dalam kehidupan bernegara.
Bagaimana mungkin seseorang membela negara, jika keluarganya sendiri tidak harmonis. Negara tidak akan berdiri kokoh apabila keluarga-keluarga di dalamnya rapuh. Ketika keluarga sudah harmonis, maka tingkatkan menjadi romantis, saling menyayangi, melindungi, dan menjaga.
Semua itu adalah bagian nyata dari bela negara. Pembelaan yang baik bukanlah tindakan sendiri-sendiri, melainkan dilakukan secara berjamaah dan disepakati. Dalam kehidupan sehari-hari, emosi seperti marah dan kesal adalah hal yang wajar. Namun emosi itu perlu dikeluarkan dengan cara yang tepat, bukan dipendam apalagi dilampiaskan secara kasar.
Cukup dengan bahasa sederhana yang tidak menyakiti diri sendiri maupun orang lain, agar tidak menempel di pikiran dan mengeruhkan jiwa. Misalkan sedang berkendara lalu ada motor menyalip tiba-tiba atau tidak menggunakan lampu, cukuplah berkata seperti, "Duh.. gimana, sih".
Beliau juga menekankan bahwa orang yang sedang dikuasai kebencian atau terlena oleh perasaan tertentu akan sulit dinasihati. Karena itu, mengurangi konsumsi tontonan yang memuat konflik bisa menjadi ikhtiar menjaga kejernihan batin.
Jiwa yang keruh tidak akan mampu melakukan pembelaan yang baik. Manusia adalah makhluk sosial, emosi mudah menular. Keramahan akan melahirkan kenyamanan, sebagaimana komunikasi sederhana yang disampaikan dengan sopan dapat menjaga suasana tetap waras dan damai.
Sebagai contoh, apabila satpam mendekat kemudian berkata dengan ramah, "Permisi bapak punteun silahkan mobilnya diparkir ke sebelah sini bapak, agar mobil di belakang bisa mengikuti ya bapak," kemudian dibalas dengan ramah pula, "Oh iya baik bapak!" maka komunikasi mengalir dengan baik.
Ketika menghadapi masalah, fokuslah pada hal-hal baik dan jangan memperbesar kekeruhan. Mengalihkan perhatian pada kebaikan membantu menjaga ketenangan jiwa, sehingga kita tetap mampu menghadirkan sikap rahmatan lil 'alamin.
Rasa cinta kepada tanah air pun sejatinya tumbuh dari jiwa yang bersih. Indonesia, tanah airku tanah tumpah darahku... bisa membuat air mata menetes. Namun bila dibiasakan diri dalam lingkup negatif, bisa menyikapinya malah dengan negatif. Hal ini tidak dibenarkan.
Membela negara membutuhkan jiwa patriotisme yang lahir dari kewarasan, keharmonisan, dan niat memperjuangkan kebenaran.
Menghormati pimpinan, sahabat, anak, istri, dan keluarga adalah fondasi penting agar kekuatan itu menyatu. Dari jiwa-jiwa yang waras dan keluarga yang harmonis, Allah menghadirkan kasih sayang, dan dari sanalah pembelaan terhadap negara menemukan maknanya yang paling dalam. (ALR-26)
