MK Larang Polisi Aktif di Jabatan Sipil — Polri Justru Buka Jalan ke 17 Lembaga: Desertasi Konstitusi atau Polit-Regulatory Capture?” -->

Header Menu

MK Larang Polisi Aktif di Jabatan Sipil — Polri Justru Buka Jalan ke 17 Lembaga: Desertasi Konstitusi atau Polit-Regulatory Capture?”

Jurnalkitaplus
13/12/25

Jurnalkitaplus - Dalam dinamika hukum dan politik di Indonesia, satu hal yang seharusnya sederhana — patuh hukum — berubah jadi pusaran interpretasi yang mengaburkan batas kewenangan institusi negara.


Mahkamah Konstitusi (MK) telah berbicara tegas melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 bahwa anggota Polri yang masih aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun dari kepolisian. Keputusan ini bukan sekadar formalitas, tapi cita-cita hukum yang menegaskan pemisahan tegas antara struktur militer dan sipil demi menjaga netralitas negara dan supremasi konstitusi. 


Namun, ironisnya, di waktu yang hampir bersamaan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meresmikan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025. Regulasi ini tak sekadar mengatur “penugasan luar struktur”—ia membuka jalan belakang bagi polisi aktif untuk menduduki posisi strategis di 17 kementerian dan lembaga negara, termasuk birokrasi penting seperti OJK, BIN, BSSN, KPK, dan banyak lagi. 


Apa yang tampak sebagai teknik linguistik administratif sesungguhnya adalah sebuah sinyal kuat: ada upaya memperluas pengaruh institusi kepolisian ke arsitektur sipil pemerintahan lewat celah regulasi.


Ini bukan sekadar soal jabatan. Ini soal arus kekuasaan sipil yang disublimasi lewat instrumen struktural tanpa transisi hukum yang layak. Ahli hukum sudah menegaskan: walau dalih Perpol adalah “penugasan luar struktur,” hal itu tidak dapat memotong ketentuan jelas Putusan MK tentang status aktif yang harus dilepas secara formal. 


Kalau konstitusi menjadi rambu, maka keputusan terbaru ini tidak hanya mengaburkan rambu itu tetapi juga bertindak seperti lampu hijau ambigu yang memberi ruang legislasi lemah menjadi praktik politik kuat.


Menunggu apakah aturan baru ini akan diuji di ranah hukum lebih lanjut atau justru dicabut merupakan momen penting bagi demokrasi kita — apakah supremasi hukum atau pendekatan pragmatis kuasa yang menang.