Jurnalkitaplus – Pernyataan Anggota Komisi I DPR RI, Endipat Wijaya, membuka satu babak baru dalam perdebatan penanganan bencana di Sumatra: pertarungan narasi antara peran negara dan sorotan publik terhadap gerakan donasi masyarakat. Banjir Sumatera yang menelan korban jiwa dan memaksa ratusan ribu warga mengungsi memang telah memicu solidaritas luas. Namun ketika donasi Rp10 miliar warga tiba-tiba dipuji sebagai "penyelamat", sementara kerja pemerintah dianggap luput, friksi politik pun muncul.
Endipat menegaskan bahwa negara telah hadir sejak hari pertama. Ratusan posko didirikan, miliaran hingga triliunan rupiah dikucurkan, dan berbagai kementerian bergerak di lapangan. Namun, semua itu tenggelam di antara konten viral yang mengangkat bantuan personal sebagai aksi heroik. Kritiknya jelas: negara bekerja besar, tapi kalah oleh narasi kecil yang lebih nyaring.
Poinnya sederhana namun tajam: ketika informasi publik tidak dikelola dengan baik, persepsi bisa mengalahkan fakta. Di sinilah sorotan diarahkan ke Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Dalam logika Endipat, kementerian ini tidak bisa lagi hanya menjadi operator teknis. Ia harus menjadi "penguat suara negara" yang mampu mengimbangi arus informasi yang seringkali emosional dan bias.
Tulisan ini melihat kritik tersebut bukan sekadar sindiran politis, tetapi alarm serius tentang lemahnya strategi komunikasi pemerintah. Masyarakat lebih cepat melihat aksi seseorang yang datang sekali, mengambil gambar, lalu menyebarkannya, dibanding memahami kerja kompleks negara yang tersebar dalam data, laporan, dan koordinasi yang tidak selalu fotogenik.
Pemerintah memang tidak boleh alergi terhadap kritik. Namun publik juga tidak boleh tertipu oleh narasi instan yang menyederhanakan penanganan bencana seolah hanya soal datang, memberi bantuan, dan pulang. Penanganan bencana adalah kerja sistem, bukan panggung citra.
Karena itu, Komdigi harus lebih dari sekadar penyampai rilis. Ia harus mampu memviralkan kerja negara, bukan lewat kampanye kaku, tetapi lewat komunikasi yang relevan dengan kebiasaan digital publik. Narasi "negara hadir" tidak boleh hanya menjadi kalimat seremonial—ia harus terbukti dalam ruang digital yang kini menjadi arena persepsi nasional.
Sebab pada akhirnya, bencana bukan hanya soal air bah yang menggenangi rumah, tetapi juga tentang banjir informasi yang bisa menenggelamkan kerja pemerintah jika tidak dikelola. Negara sudah bekerja. Tetapi apakah publik tahu? Itu adalah pekerjaan rumah Komdigi yang tak bisa lagi ditunda. (JKP)

