Jurnalkitaplus - Musibah banjir dan longsor yang melanda Sumatera bukan sekadar bencana alam. Ia juga membuka tabir persoalan serius: hilangnya empati sebagian pejabat publik dalam menghadapi penderitaan warganya. Di saat ribuan penyintas berjuang bertahan hidup, justru muncul pernyataan, sikap, dan tindakan pejabat yang terasa dingin, defensif, bahkan mencederai rasa keadilan publik.
Kasus Bupati Aceh Selatan Mirwan menjadi contoh paling telanjang. Ketika warganya masih terjebak banjir dan longsor, ia memilih berangkat umrah bersama keluarga tanpa izin resmi, setelah sebelumnya menyatakan ketidaksanggupan menangani bencana. Negara akhirnya menjatuhkan sanksi, tetapi luka sosial terlanjur terbuka. Ketidakhadiran pemimpin di saat krisis bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pengkhianatan moral terhadap mandat publik.
Problem serupa juga terlihat di level pusat. Pernyataan Kepala BNPB yang menyebut bencana “lebih mencekam di media sosial” di saat wilayah masih terisolasi menunjukkan jarak empati antara pengambil kebijakan dan realitas lapangan. Di parlemen, sindiran terhadap donasi publik—yang justru lahir dari kepedulian warga—menambah daftar panjang komunikasi publik yang gagal memahami situasi krisis.
Bencana ini menewaskan lebih dari 900 orang, memutus akses, dan meluluhlantakkan kehidupan ribuan keluarga. Namun, sebagian elite justru sibuk berdebat soal pencitraan, viralitas, dan klaim kehadiran negara. Padahal, bagi penyintas, yang dibutuhkan bukan narasi besar, melainkan kehadiran nyata: evakuasi cepat, bantuan tepat sasaran, dan komunikasi yang empatik.
Para pengamat menilai, ketidakpekaan ini mencerminkan kegagalan tata kelola penanggulangan bencana dan rapuhnya kepemimpinan krisis. Negara bergerak lambat, koordinasi tersendat, dan komunikasi publik lebih berorientasi pada pembelaan diri ketimbang pemulihan kepercayaan. Bahkan, partai politik ikut disorot karena dianggap gagal menyiapkan kader dengan kepekaan dan sense of crisis yang memadai.
Musibah Sumatera seharusnya menjadi alarm keras. Dalam situasi bencana, negara tidak cukup hadir lewat anggaran dan posko, tetapi juga lewat empati dan kepemimpinan yang membumi. Komunikasi publik harus jujur, jelas, dan berbelas kasih. Tanpa itu, setiap kata pejabat justru berpotensi menambah luka—dan memperdalam jurang antara negara dan rakyat yang sedang menderita. (FG12)
