Jurnalkitaplus - Wacana pengembalian pemilihan kepala daerah (pilkada) ke DPRD kembali menyeruak di tengah perayaan Hari Ulang Tahun Ke-61 Partai Golkar, Jumat (5/12/2025). Di hadapan Presiden Prabowo Subianto, Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia kembali menghidupkan gagasan lama: pilkada tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan melalui DPRD. Dalihnya nyaris sama seperti bertahun-tahun sebelumnya—biaya politik yang tinggi membatasi ruang kompetisi kader, dan sistem ini dianggap mampu menekan ongkos yang kian melambung.
Namun, di balik argumen klasik itu, publik patut bertanya: apakah benar masalah demokrasi lokal terletak pada mekanisme pemilihan? Atau justru pada tata kelola politik yang dikuasai elite sehingga biaya politik melambung dan menggerus integritas kepala daerah?
Wacana pilkada via DPRD bukan barang baru. PKB melalui Muhaimin Iskandar menyuarakannya pada Juli 2025. Presiden Prabowo sendiri pernah menyebutnya pada 2024 sebagai langkah penghematan anggaran triliunan rupiah. Bahkan pada 2019, Mendagri Tito Karnavian menautkan tingginya ongkos politik pilkada langsung dengan maraknya korupsi kepala daerah. Polanya selalu sama: elite berbicara, publik heran, demokrasi dipertaruhkan.
Namun, data di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya. Indeks Partisipasi Pemilih (IPP) Pilkada 2024 yang dirilis KPU membantah asumsi bahwa publik tidak cukup matang untuk berdemokrasi. Sebagian besar pemilih kini berada pada level engagement, sebuah capaian penting yang menandakan partisipasi aktif dan terus membaik. Tingkat kehadiran pun stabil di kisaran 67–74 persen. Ini modal politik besar yang tidak boleh disia-siakan hanya demi kenyamanan elite.
Pengajar UGM Mada Sukmajati secara tegas menilai tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mengembalikan pilkada kepada DPRD. Kualitas pendidikan politik masyarakat meningkat, sementara pilkada langsung terbukti menjadi kanal partisipasi inklusif—membuka ruang bagi kelompok rentan yang sebelumnya terpinggirkan. Di titik inilah gagasan pilkada via DPRD bertentangan dengan arah konsolidasi demokrasi.
Benar bahwa ada persoalan biaya politik yang tinggi. Tetapi, seperti diingatkan Mada, solusinya bukan mencabut hak pilih rakyat. Penguatan pendidikan pemilih, revisi regulasi pendanaan politik, dan peningkatan integritas partai justru lebih mendesak. Mengubah mekanisme pilkada sama saja menutupi masalah dengan karpet tebal: elit tampak puas, tetapi akar persoalan tetap membusuk.
Direktur SPD Erik Kurniawan mengingatkan bahwa tantangan demokrasi bukan pada prosedurnya, tetapi pada kualitas partisipasi dan proses politik. IPP memang menunjukkan angka pendaftaran dan kehadiran yang tinggi, tetapi indikator substantif—seperti penilaian terhadap calon dan keterlibatan dalam kampanye—masih lemah. Itu artinya perbaikan harus menyasar pendidikan politik dan ekosistem demokrasi, bukan memundurkan sistem ke era pra-reformasi.
Faktanya, Pilkada 2024 juga menunjukkan lonjakan partisipasi berkualitas: 88 persen kabupaten/kota kini berada pada kategori engagement. Sebuah lonjakan hampir tiga kali lipat dibandingkan Pemilu 2024. Ini bukti bahwa pilkada langsung bukan sekadar ritual politik, tetapi fondasi yang sedang tumbuh sehat.
Dalam konteks itu, wacana pilkada lewat DPRD bukan hanya ahistoris, tetapi juga kontra-produktif. Ia memindahkan kedaulatan rakyat ke ruang tertutup bernama DPRD—ruang yang dalam banyak kasus justru menjadi sumber biaya politik mahal, transaksi politik, dan oligarki lokal.
Mengembalikan pilkada kepada DPRD berarti menghilangkan modal politik besar yang telah dibangun publik: kesadaran, partisipasi, dan kemampuan memilih pemimpin lokal secara langsung. Demokrasi yang telah dibuka pintunya oleh rakyat kini hendak ditutup kembali dari dalam oleh elite.
Jika persoalannya adalah biaya politik, maka benahilah hulunya: pendanaan partai, transparansi kampanye, dan pendidikan pemilih. Bukan mencopot hak rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri.
Pilkada langsung bukan tanpa cacat. Tetapi menggantinya dengan pilkada DPRD hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.
Demokrasi tidak butuh jalan pintas—ia butuh keberanian menghadapi persoalan secara jujur, bukan sekadar merawat kenyamanan politik segelintir elite. (FG12)

