Jurnalkitaplus - Wacana agar Kapolri ditunjuk langsung Presiden tanpa persetujuan DPR kembali menguji arah reformasi kepolisian dan tata kelola kekuasaan di Indonesia. Gagasan yang dijelaskan Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, berangkat dari niat mulia: menjauhkan Polri dari tarik-menarik kepentingan politik, sekaligus mencegah lahirnya “utang budi” Kapolri kepada partai dan anggota parlemen yang hari ini memegang peran kunci lewat fit and proper test.
Di atas kertas, logika ini tampak menjanjikan. Namun, di ranah praktik, pertanyaannya jauh lebih rumit: apakah menghapus peran DPR otomatis membuat Polri lebih independen, atau justru memusatkan kekuasaan berlebihan di tangan Presiden?
Mekanisme yang berlaku saat ini memang bukan tanpa cacat. Pengajuan calon Kapolri oleh Presiden dan persetujuan DPR sering kali berubah menjadi panggung politisasi: fraksi-fraksi bernegosiasi, lobi-lobi terjadi, dan publik kerap hanya menjadi penonton.
Di titik ini, kritik tentang potensi balas budi Kapolri terhadap kekuatan politik di Senayan bukanlah kekhawatiran kosong. Namun, menjawab problem tersebut dengan menyerahkan seluruh penunjukan Kapolri ke Presiden juga bukan solusi yang bebas risiko. Tanpa mekanisme check and balance yang kuat, hak prerogatif Kepala Negara berpotensi menjelma menjadi dominasi tunggal atas institusi penegak hukum yang seharusnya melayani kepentingan publik secara imparsial.
Di sisi lain, mandat Komisi Reformasi Polri adalah merancang jalan reformasi yang tidak sekadar kosmetik. Komisi ini menyerap berbagai usulan, termasuk dari mantan Kapolri yang mendorong agar Presiden bisa langsung menunjuk Kapolri tanpa DPR, dengan alasan mengurangi intervensi politik.
Di sini, publik perlu mengingat bahwa reformasi kelembagaan bukan hanya soal mengubah siapa yang menunjuk, melainkan bagaimana proses, standar, dan akuntabilitas dibangun. Transparansi rekam jejak calon, partisipasi publik, serta mekanisme pengawasan independen justru jauh lebih menentukan apakah Polri bisa sungguh-sungguh lepas dari cengkeraman kepentingan jangka pendek.
Karena itu, wacana “Kapolri dipilih Presiden” sejatinya tidak boleh berhenti di dikotomi sempit: Presiden versus DPR. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah, model mana yang paling mampu menjamin profesionalisme Polri, melindungi warga dari penyalahgunaan wewenang, dan memastikan bahwa hukum tidak tunduk pada selera penguasa hari ini.
Alih-alih tergesa-gesa mengunci pilihan di satu skema, pemerintah dan Komisi Reformasi Polri perlu membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi hak asasi manusia.
Pada akhirnya, reformasi Polri bukanlah soal kenyamanan politik Presiden maupun DPR, melainkan tentang jaminan rasa aman dan keadilan bagi warga negara. Setiap perubahan mekanisme pengangkatan Kapolri harus diuji dengan satu ukuran utama: apakah publik akan lebih terlindungi, lebih didengar, dan lebih mudah mengontrol kekuasaan bersenjata negara.
Tanpa itu, wacana penunjukan langsung oleh Presiden hanya akan menjadi bab baru konsolidasi kekuasaan, bukan lompatan maju bagi demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. (FG12)

