Jurnalkitaplus - Dalam gelapnya malam, ketika lumpur masih menempel di jalanan dan kendaraan rusak berserakan di bahu jalan — itulah saat di mana kepemimpinan diuji. Berkat keberanian Muzakir Manaf — yang karib disapa “Mualem” — ribuan warga terdampak bencana di Aceh Tamiang secercah harapan. Ia tak menunggu siang lahir, melainkan memilih mendatangi korban di tengah malam, dengan membawa bantuan bagi mereka yang lututnya sudah bergetar oleh kehilangan.
Dalam kunjungannya pada Rabu malam, 3 Desember 2025, Mualem memimpin rombongan dari Lhokseumawe ke Aceh Tamiang. Mereka tiba sekitar pukul 23.00 WIB, dan langsung membagikan bantuan hingga pukul 03.15 dini hari — saat listrik belum pulih, jalanan masih berlumpur, dan suasana sangat mencekam.
Di tengah kehancuran — rumah-rumah rata tanah, infrastruktur porak-poranda, dan warga yang bahkan kehilangan pakaian — diserahkan bantuan 30 ton sembako. Paket ini berisi air minum, beras, mie instan, biskuit, telur, bahkan obat-obatan. Semua kebutuhan dasar itu diserahkan langsung kepada warga di kampung terdampak serta pengungsi yang mendirikan posko darurat di sepanjang jalur Banda Aceh–Medan.
Salah satu warga, yang mengungsi bersama puluhan orang lainnya, menceritakan: air banjir naik sedemikian cepat — dalam hitungan jam, rumah tenggelam, benda berharga hanyut, tersisa hanya sepotong baju di badan. Banyak warga kini belum memiliki apa-apa: obat-obatan habis terbawa arus, harga kebutuhan pokok melonjak, sedangkan pakaian tunggal yang mereka kenakan pun hilang.
Di tengah itu semua, kehadiran Mualem bukan sekadar simbol — tapi bukti bahwa pemimpin berada di barisan paling depan bersama rakyatnya. Aksi malam itu memberi warga kekuatan moral agar tetap tabah, bahwa mereka tidak ditinggalkan dalam kesulitan.
Kehadiran seorang pemimpin ditengah krisis apalagi bencana yang memberikan kerusakan yang cukup parah setidaknya dapat mengobati kondisi "shock" yang dirasakan warga. Supprot yang diberikan dapat menandakan empati yang mengisyaratkan bahwa mereka tidak sendiri dalam situasi "krisis" ini. Ketimbang mengabadikan moment personal dengan membagikannya di media sosial yang mendapat cibiran karena perilaku "pencitraan", peranan mereka di daerah bencana dapat diaktualisasikan dengan :
- Empati lewat tindakan: Saat sistem logistik dan bantuan belum stabil, kehadiran langsung pemimpin membuktikan bahwa pemerintah peduli — dan mau berbagi beban.
- Moral builder di saat krisis: Dalam duka dan ketidakpastian, figur pemimpin dapat menjadi jangkar harapan; memberi rasa aman dan keyakinan bahwa “kita tidak sendirian.”
- Mempercepat distribusi bantuan: Aksi spontan dan langsung sering kali mampu menembus birokrasi — membantu korban lebih cepat menerima kebutuhan mendesak seperti makanan, air, obat-obatan, dan pakaian.
- Membangkitkan solidaritas sosial: Bantuan malam itu berasal dari sumbangan warga di luar Aceh (Medan), menunjukkan bahwa kepemimpinan bisa menggerakkan solidaritas luas di saat dibutuhkan.
Bukan Sekadar Panggung — Tapi Tanggung Jawab Nyata
Kita tak butuh pemimpin yang hanya tampil di foto saat siang hari dengan papan nama sembako di belakangnya. Kita butuh pemimpin yang rela turun saat malam, di jalan berlumpur, menyisir kampung rusak dan rumah rata tanah, mendengarkan tangisan ibu kehilangan, serta janji mengirim air bersih dan tabung elpiji keesokan hari.
Aksi seperti itu bukan sekadar liputan bagus — tapi menyelamatkan nyawa, memulihkan harapan, dan memulihkan martabat warga yang hancur. Dalam situasi seperti bencana masif ini, sikap responsif dan berempati dari elit pemerintahan bukan bonus — melainkan kewajiban moral.
Bencana seperti yang melanda Aceh Tamiang tak memilih waktu — ia datang tanpa pamrih. Namun, tanggapan kita bisa menjadi pilihan. Saat ini, warga Aceh terus membutuhkan:
- Obat-obatan dan layanan kesehatan segera — banyak fasilitas medis rusak; penyintas rawan sakit.
- Kebutuhan dasar seperti air bersih, makanan pokok, tabung elpiji — karena harga sembako melonjak dan persediaan sangat sempit.
- Pakaian dan kebutuhan mendasar lainnya — banyak warga kehilangan segalanya saat banjir menerjang.
Kepemimpinan seperti yang telah ditunjukkan Mualem menjadi contoh — bahwa dalam situasi paling gelap sekalipun, harapan bisa dityalakan lewat tindakan nyata. Semoga langkah ini memicu tanggung jawab lebih luas — dari pemerintah pusat hingga masyarakat luas — untuk membantu Aceh pulih, dan memastikan kemanusiaan tetap menjadi fondasi saat kita membangun kembali. (FG12)

