Assalamu'alaikum Sobat Jkpers!
Kali ini aku mau share tentang "Pelajaran apa sih yang bisa kita ambil dari dokumenter Bad Influence: The Dark Side of Kidfluencing?"
Sebagai penonton, kadang kita cuma lihat konten lucu, estetik, atau menggemaskan lewat layar. Tapi kalau ditarik lebih dalam, dokumenter ini ngasih tamparan keras bahwa apa yang tampak manis di kamera seringkali disembunyikan oleh cerita gelap di belakangnya. Banyak hal penting yang justru nggak bakal kita lihat kecuali kita mau jujur menelaah dunia digital lebih jauh.
Pasti dari judulnya aja kalian langsung kepikiran, "Oh ini tentang sisi gelap anak yang jadi influencer sejak kecil!"
Betul. Tapi fokusku bukan cuma itu aja. Aku pengen ngelihat dokumenter ini sebagai kaca: tentang dinamika keluarga, batas antara kasih sayang dan eksploitasi, serta bagaimana media sosial bisa mengubah identitas anak bahkan sebelum mereka tahu siapa diri mereka.
Yang pertama, dokumenter ini nunjukin perbedaan besar antara cara seorang anak melihat ibunya dan cara publik melihat perilaku ibu tersebut.
Di mata anak, ibunya mungkin adalah sosok yang mendukung, menemani, atau bahkan mengarahkan.
Tapi di mata banyak orang, perilaku yang tampak seperti "mengatur dan mendampingi" bisa berubah menjadi "menekan dan memanfaatkan".
Dan jangan lupa, ini dokumenter—bukan fiksi. Artinya, semua yang terjadi benar-benar nyata.
Dari sini aku belajar satu hal penting:
Di balik konten bagus, ada banyak yang dikorbankan.
Anak-anak ini bukan cuma tampil di kamera sebagai karakter yang lucu atau menarik, tapi secara perlahan kehilangan jati diri mereka. Mereka tumbuh bukan sebagai "diri sendiri", tapi sebagai karakter yang diinginkan publik.
Bahkan lebih jauh, mereka bisa kehilangan arah: bingung menentukan apa yang benar-benar mereka suka, apa yang mereka mau, atau siapa mereka sebenarnya. Sejak kecil mereka sudah menjadi semacam boneka untuk kebutuhan konten—seolah hidupnya dibentuk berdasarkan selera audiens.
Pelajaran berikutnya:
Tekanan dari dunia digital membuat beberapa anak ini harus terus mengikuti tren.
Hari ini harus lucu.
Besok harus estetik.
Lusa harus dramatis.
Bahkan waktu untuk sekadar menikmati masa kecil pun hilang. Mereka tidak diberi ruang untuk hanya menjadi anak.
Dan dari sini kita belajar bahwa:
Tidak semua pekerjaan, branding, atau kepopuleran itu sepadan dengan kehilangan diri sendiri.
Banyak profesi yang menuntut kita menjadi "sosok tertentu" hanya demi menjaga reputasi—bahkan reputasi yang sudah dibangun oleh orang lain, bukan oleh diri kita.
Yang paling bikin merenung adalah bagaimana dokumenter ini membuka fakta bahwa "kidfluencing" bisa menciptakan bentuk perbudakan baru: seorang anak dipaksa mengikuti arah yang diinginkan publik.
Karena demi engagement, demi sponsor, demi angka—hal-hal yang mestinya bukan beban anak.
Makanya…
Jangan meremehkan nilai menjadi diri sendiri.
Ketulusan, kebebasan, dan kenyamanan diri itu anugerah besar yang nggak semua orang dapat. Banyak di luar sana yang harus membayar mahal hanya untuk bisa jadi dirinya sendiri.
Akhirnya, yang ingin aku garis bawahi:
Hargai batas anak. Hormati hak mereka atas privasi, waktu bermain, ruang aman, dan identitas pribadi. Jangan sampai kita ikut jadi bagian dari budaya yang menormalisasi eksposur anak demi kepentingan konten.
Dan buat kamu yang sudah menonton Bad Influence: The Dark Side of Kidfluencing, pelajaran apa yang paling membekas buat kamu?
FAI-32
