Jurnalkitaplus - Pengakuan Mendagri Tito Karnavian terkait Bupati Aceh Tengah yang mengaku "tidak sanggup" menangani bencana banjir dan longsor di wilayahnya bukanlah sekadar tanggapan simpati. Pernyataan Mendagri bahwa ketidakmampuan itu adalah hal yang "wajar" justru membunyikan alarm keras tentang potret ketahanan bencana dan kondisi infrastruktur daerah di Indonesia.
Alih-alih menyalahkan, Mendagri justru membenarkan penyerahan diri bupati. Alasannya tunggal dan brutal: akses jalan darat ke dan dari Aceh Tengah terputus total—terkunci dari Lhokseumawe di utara dan jalur selatan. Bupati tersebut, menurut Mendagri, memang tidak akan mampu bertarung melawan bencana yang mengisolasi.
Ini adalah pengakuan jujur yang menelanjangi realitas di lapangan
Pertama, Mendagri secara tersirat mengakui bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) Aceh Tengah berada dalam kondisi lumpuh total saat dihadapkan pada krisis ekstrem. Mereka tidak memiliki kemampuan logistik mendasar. Pangan bagi korban harus diambil dari luar dan didistribusikan menggunakan pesawat—sebuah fasilitas yang jelas-jelas berada di luar jangkauan Pemda.
Kedua, pengakuan ini menyoroti kerapuhan infrastruktur regional kita. Ketika bencana hidrometeorologi parah melanda, jalan-jalan vital langsung hancur, jembatan putus, dan jalur logistik terkunci. Kapasitas Pemda untuk memobilisasi alat berat, memperbaiki kerusakan masif, hingga membuka isolasi, terbukti nol.
Tito Karnavian menyebut Pemda terkunci, dan oleh karena itu bantuan harus diambil alih oleh Pemerintah Pusat, didistribusikan melalui udara dari Jakarta dan Medan. Ini bukan gambaran koordinasi yang mulus, melainkan bailout darurat karena sistem di tingkat regional kolaps.
Jika Kepala Daerah—orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan warganya di masa krisis—dianggap "wajar" untuk menyerah hanya karena akses terputus, maka ada pertanyaan besar yang harus dijawab di Jakarta:
- Apakah standar kesiapan bencana daerah hanya dirancang untuk bencana level ringan?
- Mengapa infrastruktur logistik dan jalur evakuasi di wilayah rawan bencana begitu ringkih sehingga mudah terisolasi total?
- Sampai sejauh mana otonomi daerah berfungsi jika pada krisis terparah, mereka harus menanti uluran tangan dari pusat yang jaraknya ratusan kilometer?
Pernyataan Mendagri yang meminta publik untuk melihat kondisi, bukan hanya surat ketidaksanggupan, adalah seruan yang benar. Kondisi itulah yang menunjukkan bahwa label "wajar" untuk menyerah hanyalah pemanis untuk menutupi kegagalan sistemik dalam membangun ketahanan dan sumber daya yang memadai di tingkat daerah.
Bencana memang tak terhindarkan, namun ketidakmampuan untuk meresponsnya secara mandiri seharusnya tidak boleh menjadi hal yang "wajar." (FG12)

