JURNALKITAPLUS - Setelah fenomena "quiet quitting" yang mencuri perhatian beberapa tahun lalu, kini dunia kerja menghadapi tren baru yang disebut "quiet cracking". Fenomena ini mulai menjadi perbincangan hangat di kalangan profesional dan pengamat ketenagakerjaan, menandakan perubahan dinamika di lingkungan kantor yang semakin kompleks.
Berdasarkan informasi yang tersedia, "quiet cracking" menggambarkan kondisi di mana karyawan merasa semakin terputus dari pekerjaan mereka. Ini ditandai dengan rasa tidak puas, kelelahan, dan bahkan niat untuk meninggalkan pekerjaan, meskipun tidak secara terbuka diungkapkan. Berbeda dengan "quiet quitting" yang lebih kepada menjalani pekerjaan dengan usaha minimal, "quiet cracking" menunjukkan retakan emosional yang lebih dalam, di mana karyawan masih tampak bekerja tetapi secara internal sudah kehilangan semangat dan keterlibatan.
Fenomena ini diyakini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk tekanan kerja yang meningkat, kurangnya pengakuan dari atasan, dan ketidakseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Banyak karyawan yang merasa "quiet cracking" adalah respons alami terhadap lingkungan kerja yang tidak lagi mendukung kesejahteraan mereka.
Para ahli menyarankan perusahaan untuk lebih proaktif dalam mendeteksi tanda-tanda "quiet cracking" melalui komunikasi terbuka dan dukungan karyawan yang lebih baik. Tanpa intervensi, fenomena ini berpotensi meningkatkan turnover dan menurunkan produktivitas secara keseluruhan. Sementara itu, karyawan didorong untuk mencari keseimbangan dan tidak ragu meminta bantuan jika merasa tertekan.
"Quiet cracking" tampaknya menjadi cerminan dari tantangan baru di dunia kerja modern. Seiring waktu, baik perusahaan maupun individu perlu beradaptasi untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan berkelanjutan. Menarik untuk mengetahui langkah apa yang akan diambil dunia korporat selanjutnya dalam menyikapi tren ini. (FG12)

.jpeg)