Membedah Makna Dibalik Ayat-Ayat Allah -->

Header Menu

Membedah Makna Dibalik Ayat-Ayat Allah

Jurnalkitaplus
04/08/25

Jurnalkitaplus - Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ketika Islam sudah tersebar di wilayah arab dan non Arab, maka dakwahnya ikut tersebar. Ayat Al-Quran yang waktu itu masih tulis tangan masih juga masih disebarkan. Waktu itu ada orang non Arab yang membacanya ada tulisan yang salah atau typo, hal ini menimbulkan kontroversi. Ini bisa fatal untuk terjemahannya. Peristiwa ini memunculkan inisiatif, bagaimana agar Al-Quran ini bisa dibaca oleh semua kalangan, orang non Arab, bahkan orang awam.

Saat itu belum ada harakat, waqaf, tanda baca. Muncullah berbagai tokoh supaya Al-Quran ini bisa dibaca, seperti Abu Aswad Ad-duali yang memasukkan titik-titik dan tokoh lain hingga bisa menjadi Al-Quran yang bisa kita baca saat ini.

Mengetahui terjemahannya membantu kita memahami apa makna yang ingin disampaikan Kalam itu. Seperti Al-Quran surat An-Nisa ayat 103:

فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا ۝١٠٣

fa idzâ qadlaitumush-shalâta fadzkurullâha qiyâmaw wa qu'ûdaw wa 'alâ junûbikum, fa idzathma'nantum fa aqîmush-shalâh, innash-shalâta kânat 'alal-mu'minîna kitâbam mauqûtâ

Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah (mengingat dan menyebut-Nya), baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring. Apabila kamu telah merasa aman, laksanakanlah salat itu (dengan sempurna). Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin.

Kalau baru belajar bahasa Arab, kitaabam maufuuta diartikan buku. Padahal, secara mendalam artinya bisa kewajiban.

Fiil amr (perintah): aqiimush sholat, dirikanlah shalat. Fiil madhi: kutiba alaikum, diwajibkan atas kamu. Ulama menilai kataba-kutiba-kitaaban bermakna wajib.

Ustadz Asrof Fitri, S.H.I,.M.E.Sy menjelaskan dalam Istighosah bersama Reksa Mahardhika Utama (3/8/2025)

Maka belajar bahasa Arab tidak cukup dari google translate, banyak ngawurnya. Potensi salahnya besar. Pada surat An-Nisa ayat 59:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًاࣖ ۝٥٩

yâ ayyuhalladzîna âmanû athî'ullâha wa athî'ur-rasûla wa ulil-amri mingkum, fa in tanâza'tum fî syai'in fa ruddûhu ilallâhi war-rasûli ing kuntum tu'minûna billâhi wal-yaumil-âkhir, dzâlika khairuw wa aḫsanu ta'wîlâ.

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).

Terdapat athiiu, sebelum kata Allah dan kata Rasul. Ini artinya ketaatan kepada Allah dan kepada Rasul itu tidak bisa ditawar, karena sudah dijamin kebenarannya (berdasarkan Wahyu). Berbeda dengan ketaatan terhadap Ulil Amri. Ulil Amri ada yang memaknai pembimbing, ulama, orang yang mengurus urusan kita (orang tua), dan seterusnya. Ulama menilai ketaatan kepada mereka tidak mutlak, Ulil Amri tidak didahului kata athiiu.

Jika orang tua menyuruh perbuatan maksiat kepada Allah, tidak boleh diikuti. Lalu jika kita sudah belajar bahasa Arab, kita bisa menafsirkan Al-Quran dan hadits, menjadi ulama? Ternyata tidak. Dibutuhkan berbagai bidang keilmuan yang lain, sebagai contoh ketika surat Al-An'am ayat 82 turun:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ۝٨٢

alladzîna âmanû wa lam yalbisû îmânahum bidhulmin ulâ'ika lahumul-amnu wa hum muhtadûn

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat petunjuk.

Para sahabat bertanya-tanya, "Yang namanya manusia pasti pernah salah, tapi di ayatnya menyebut manusia yang tidak pernah menyelisihi keimanan mereka dengan kedzaliman maka orang itu mendapat petunjuk." Maka mereka bertanya kepada Rasul. Apakah maksudnya ini. Rasul menjelaskan bahwa dzalim ini maksudnya kekuatan syirik, "Sesungguhnya syirik itu kedzaliman yang nyata."

Jadi tidak cukup mempelajari bahasa Arab saja tapi membaca juga hadits, sirah, tafsir, ulumul Quran (mempelajari sebab turunnya Al-Quran atau asbabun nuzul), ulumul hadis (orang yang meriwayatkan hadits), Ushul fiqh (seperti nikah mut'ah atau pernikahan kontrak), qawaid fiqhiyyah, Karena ancamannya apabila misinformasi itu besar: neraka. Termasuk memahami kultur Arab pada zaman itu. Kalau zaman dulu kan tidak pakai centong tapi pakai tangan, sehingga cambukan pun bisa cambukan tangan dengan ukuran dan jumlah yang disesuaikan.

Minimal kita memahami rukun Islam: syahadat, shalat, zakat, puasa, haji. Karena Islam dibangun dari lima hal ini, penting diketahui ibadah, muamalah (konflik antar manusia misalkan masalah utang piutang), dan lainnya. (ALR-26)

Sumber: Ustadz Asrof Fitri, S.H.I,.M.E.Sy dalam Istighosah bersama Reksa Mahardhika Utama, Ahad (3 Agustus 2025).