Ted-Ed/YouTube
Basal adalah batuan beku berwarna gelap yang terbentuk dari lava gunung berapi. Batuan ini kaya akan mineral seperti kalsium, magnesium, dan besi. Saat benda ini mengalami pelapukan (bereaksi dengan air dan CO₂), terjadi reaksi kimia yang mengubah CO₂ menjadi batuan karbonat yang stabil, dan tersimpan di dalam tanah. Ini berarti CO₂, yang tadinya gas rumah kaca di atmosfer, akan diubah menjadi bentuk padat yang tidak berbahaya.
Jika kita memanen sebagian basal dari gunung, bisakah kita benar-benar menggunakannya untuk menghentikan perubahan iklim (climate change)?
Elise Cutts dalam Ted-Ed nya "Rocks could save the world (Yes, rocks)" pada 25 Mar 2025 menjelaskan bahwa secara teoretis, skema ini tujuannya meningkatkan salah satu proses alami Bumi: pelapukan batuan (rock weathering).
Pelapukan batuan terjadi setiap kali hujan turun. Saat air hujan yang jatuh bercampur dengan karbon dioksida atmosfer, ia menjadi asam lemah yang dapat mengikis mineral, yang disebut silikat. Dan karena silikat terdapat di lebih dari 90% batuan yang terpapar di Bumi, ini terjadi hampir di mana saja hujan mengenai batu.
Saat asam ini bereaksi dengan batu, karbon dioksida yang larut dalam air hujan berubah menjadi bentuk baru yang disebut bikarbonat, menetes ke hilir bersama hujan ke laut. Di sini makhluk laut menggunakannya untuk membuat struktur seperti cangkang dan ketika mereka mati, cangkang itu tenggelam ke dasar laut, menjebak karbon dioksida di lautan selama ribuan tahun.
Proses ini memiliki dampak besar pada iklim Bumi. Saat hangat dan basah, pelapukan batuan bisa dipercepat dan meredam pemanasan efek rumah kaca. Saat dingin dan kering, prosesnya melambat, menumpuk karbon dioksida atmosfer. Tetapi efek ini membutuhkan waktu—pelapukan batuan alami menyeimbangkan iklim Bumi selama jutaan tahun.
Para ahli pun bekerja sama untuk mempercepat penyerapan karbon atmosfer. Terdapat dua faktor utama yang menentukan laju proses ini: jenis batuan yang terpapar cuaca dan jumlah batuan yang terpapar.
Silikat yang terbentuk pada suhu yang lebih tinggi cenderung lapuk lebih cepat karena komposisi kimianya. Batuan termasuk yang berasal dari mantel dalam Bumi dan batuan vulkanik seperti basal. Sayangnya jika menumpuk di gunung, tidak banyak batuan yang terpapar. Karena itu beberapa ahli iklim percaya bahwa kita harus memanen batuan yang cepat lapuk itu, menghancurkannya, dan menyebarkannya untuk melapukkan lebih banyak batuan dalam waktu yang lebih singkat.
Proses yang dipercepat ini disebut pelapukan batuan yang ditingkatkan (enhanced rock weathering), merupakan salah satu rencana paling praktis yang kita miliki untuk menarik karbon. Daripada harus menciptakan teknologi yang serba baru, kita dapat mengandalkan sistem yang ada untuk penambangan dan pemrosesan batuan. Dan karena komunitas pertanian telah lama mengetahui bahwa batuan dan tanah vulkanik dapat meningkatkan hasil panen, lahan pertanian bisa menjadi lokasi penyebaran yang sempurna.
Ted-Ed/YouTube
Tetapi agar pendekatan ini berdampak, perlu diterapkan secara global. Meskipun ada teknologi penambangan yang ada, akan menjadi tantangan ekologis dan teknik yang besar untuk menggali, menghancurkan, mengangkut, dan menyebarkan batuan sebanyak ini. Kesulitan logistik dalam mendistribusikan materi ini juga akan sangat berat.
Setiap upaya yang berdampak pada sistem alam Bumi, pada skala ini, mungkin memiliki efek samping yang tidak dapat diprediksi. Misalnya batuan yang digali mungkin mengandung logam berat berbahaya atau unsur tak dikenal lainnya. Tetapi tantangan ini bukanlah alasan untuk meninggalkan pelapukan batuan yang ditingkatkan—itu hanya rintangan pertama untuk menerapkan strategi yang menjanjikan.
Simulasi menunjukkan bahwa program pelapukan batuan, yang ditingkatkan secara global dengan menyebarkan 10 ton debu basal di setiap hektar lahan pertanian global, dapat menyerap lebih dari 200 gigaton CO2 selama periode 75 tahun. Itu adalah angka yang luar biasa untuk pendekatan yang murah dan praktis. Gimana menurut Sobat JKPers? (ALR-26)