Ketika duduk di bangku pendidikan, kita diajarkan lebih lanjut mengenai etika ini, bahwa senyum merupakan bentuk sedekah. Diajarkan bagaimana mengucap yang sesuai ketika berbicara dengan yang lebih muda, yang seumuran, dan kepada yang lebih tua. Mana hak mana kewajiban. Diajarkan untuk berpikir sebelum bertindak, diajarkan bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.
Siapa yang tidak tahu Pancasila? kita semua tahu bahwa istilah ini adalah landasan seharusnya dari sikap dan perilaku kita sebagai warga negara Indonesia. Mengamalkan adanya keTuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial.. Anda tentu tahu kelanjutannya. Hafal. Bahkan di luar kepala. Kita juga diajarkan nikmatnya gotong royong dan musyawarah.
Lantas mengapa belakangan ini terjadi kekerasan?
Seorang nenek, sekedar ingin menanyakan arah jalan, dikira ingin menculik orang. Sang nenek dipukuli. Seseorang yang bahkan kesulitan membawa tubuhnya sendiri, dipukul. Belum lagi beredar di media sosial bahwa seorang nenek yang diketahui mencuri sayur senilai Rp.90.000 langsung dipukuli di tempat. Darahnya bercucuran.
Kawan, di mana letak kemanusiaan itu? pertama. Kita telah belajar pendidikan kewarganegaraan ditambah agama. Kalaupun tidak belajar secara formal, kita tetap bisa menemukan konten positif edukatif berseliweran di telepon kita. Kedua. Orang yang kamu pukuli itu orang tua.
Kita belajar sejarah bahwa Umar bin Khattab, pemimpin ternama yang dikenal berdarah dingin dulunya sekalipun tidak langsung menjatuhkan hukuman kepada pencuri jika sang pelaku mengaku kesulitan bertahan hidup dan terpaksa mencuri. Bahwa segala perbuatan disikapi sesuai takarannya.
Bukan main hakim sendiri.
Ngapain kamu menggemborkan kemeriahan di Hari Kemerdekaan sebagai penghormatan perjuangan orang terdahulu, jika orang tua di depan matamu sendiri tidak kamu hormati? Jangan lagi kita menyalahkan tontonan atau lingkungan yang mempengaruhi perbuatan main hakim sendiri. Jika kamu bertanya pada mesin telusur berbasis AI, tidak akan media itu mengajarkan sikap main hakim sendiri.
Maka kawan, tanyalah dirimu sendiri. Itu kembali kepada keputusanmu. Kenapa kamu begitu bersemangat untuk memukuli orang, yang bahkan bisa saja orang itu memikul beban lebih lama darimu? sesulit itukah untuk memikirkan apa yang melatarbelakangi perbuatan itu? otakmu punya kapasitas besar, berpikirlah kawan. (ALR-26)